Come Back

KRITIK TINGGI TERHADAP ALKITAB

Oleh: Wisma Pandia, S.Th., Th.M

  

  PENDAHULUAN

 Istilah “kritik” selalu mengacu kepada konotasi negatif. Padahal tidak selamanya harus demikian. Pengertian pokok istilah kritik ialah pemeriksaan atau pengujian atas suatu persoalan, naskah atau masalah, dengan maksud menentukan keoten-tikannya, keterandalannya, atau arti pentingnya. “ Istilah criticism pada dasarnya berarti suatu pendapat, atau suatu tindakan mengadili; diturunkan dari kata kerja dalam bahasa Yunani (…[krino]) berarti menilai, atau menguji, atau meneruskan tudingan atau tuduhan terhadap, atau menetapkan, sederetan arti diatas mengandung makna ini. Jika dipakai dalam bidang kesusatraan ia menunjukkan pemikiran – bukan usaha mencari kesalahan – tetapi dengan adil dan benar menilai kebaikan serta kejelekan sesuatu secara terus terang dan obyektif. Dengan kata lain, merupakan penilaian yang tidak memihak, atau hal yang mirip itu misalnya hal apa saja yang bisa dipertimbangkan oleh kritikus tertentu.”[1]

Jenis studi ini bisa diterapkan pada Alkitab, karena itu dinamakan penelitian Alkitab. Christian Cyclopedia mendefinisikannya: “ilmu untuk bisa mencapai pengetahuan yang memuaskan tentang asal-usul, sejarah, dan keadaan naskah asli alkitab.”[2]

Kritik Alkitab(Biblical Criticism) dapat dibagi menjadi dua bagian; yaitu Kritik Tinggi (Higher Criticism) dan Kritik Rendah (Lower Criticism).  Kritik Rendah  sering diidentikkan dengan Kritik Teks (Textual Criticism) dan merupakan fundasional dari semua bentuk kritik Alkitab. Kritik Rendah ini membahas unsur-unsur sejarah, bahasanya khusnya unsur teks dan gramatikalnya sebagaimana yang tertulis dalam naskah atau teks-teks cetakan, salinan-salinan kuno, dan sumber-sumber pemberita lain yang resmi, yang dianggap bisa membantu memahami teks Alkitab secara lebih baik dan mendalam.

Higher Criticism (Kritik Tinggi)  sendiri merupakan studi dari yang terdiri dari penerapan pendapat yang berkaitan dengan teks atau naskah berdasarkan apa yang bisa dilihat dari sejarah, bentuk naskah, pokok bahasan dan argumen dari kitab-kitab lain; cirri dan kaitannya drengan teks,; hubungan antar perikop, situasi-situasi yang diketahu penulis dan hal-hal yang berkaitan dengan pribadi penulis yang ikut andil.

Jadi istilah “kritik tinggi” bukan  berarti bahwa kritikannya lebih tinggi atau lebih baik, tetapi lebih cendrung untuk membedakannya dengan kritik rendah. Disamping itu kritik tinggi mempunyai cabang yang lebih luas dan terus berkembang. Beberapa diantaranya meliputi;(a) kritik redaksi, yang berfokus pada redaktur final (atau compilers) dari kitab-kitab, (b) kritik literaturnyang melihat kepada analisa teks sebagai sebuah akhir dari potongan-potongan literature (c) kritik sumber, menekankan kepada sumber yang dipakai oleh kitab-kitab dan, (d) kritik bentuk yang menyelidiki bentuk-bentuk yang dipakai oleh penulis kitab-kitab.

            Kritik Alkitab secara positif pada dasarnya harus netral, dalam arti bahwa manusia melalui studi berusaha untuk menyelidiki kebenaran Alkitab, apakah teks-teks terjemahan itu sesuai dengan aslinya atau tidak (lower criticism) dan apakah sifat sejarah dan bentuk-bentuk sastra penulisan benar atau ada kekurangannya (higher criticism).[3] Hanya sayang, pengaruh rasionalisme dan evolusionisme telah meresapi liberalisme dengan kritik Alkitab dan menolak hal supranatural, menganggap Alkitab penuh dengan kesalahan dan juga merupakan kumpulan dari banyak mitos.

            Apa yang dipersalahkan oleh penelitian atau kritik tinggi adalah integritas, keotentikan, keterandalan dan bentuk-bentuk sastra berbagai tulisan dalam Alkitab. Istilah ”kritik tinggi” itu sendiri bukan istilah yang negatif.[4] Prinsip-prinsip yang dilakukan terhadap Alkitab juga dapat diterapkan pada karya satra dan siapapun yang terlibat dalam kegiatan ini pasti disebut “peneliti tinggi”. Namun karena studi metode kritik ini secara eksklusif hanya dikaitkan dengan metode untuk memperoleh sekelompok tujuan tertentu, ditambah lagi metode ini identik sebagai displin pengetahuan liberal yang keliru dan sangat kaku membuat istilah  ini mempunyai konotasi negatif.

 

Pandangan Higher Criticism Mengenai Pembentukan Pentateukh

 

A.     Periode Awal Hingga Abad pertengahan

Sejak permulaan abad-abad Kristen kritik yang memusuhi Alkitab dan terutama Pentateukh telah ada. Meskipun pada waktu PB sedang dirampungkan, penulis-penulis Yahudi seperti Yosefus dan Philo dengan jelas menganggap Musa sebagai penulis kitab Musa. Talmud Yahudi sendiri menegaskan bahwa kitab Pentateukh ditulis oleh Musa, kecuali delapan ayat terakhir dihubungkan dengan Yosua. Meskipun demikian, seorang pemimpin gnostik dari Aleksandria, bernama Valentinus, menyangkal keotentikan berbagai bagian dari hukum Taurat dan kitab para nabi. Kaum Nazarene, sebuah sekte Kristen Yahudi, juga menolak gagasan bahwa Musa yang menulis kitab Pentateukh, dan salah seorang dari bapak-bapak gereja yang bernama Epifanius, melihat bahwa kaum Ebionit tidak menerima  beberapa bagian  Pentateukh.[5] Dalam kitab Pseudographa 2 Edras menyatakan bahwa Ezra mereproduksi kitab Taurat dan kitab-kitab Yahudi lainnya, hal inilah yang mungkin mempengaruhi Yerome untuk percaya bahwa paling tidak bentuk akhir Pentateukh berasal dari zaman Ezra.

Ibn Hazam dari Kordova Spanyol (sekitar 994 M), mendesak bahwa Ezra adalah penulis utama  kitab-kitab Pentateukh. Sarjana besar Spanyol, Ibn Ezra (1092-1167), mendukung kepenulisan Musa, tetapi memperhitungkan kemungkinan-kemung-kinan adanya sisipan-sisipan dalam Pentateukh sesudah Musa.[6] Seperti orang-orang lain sebelum dia, Ibn Ezra tidak menganggap Musa menulis kematiannya sendiri.

 

B.     Masa Reformasi dan Renaissance

Seiring dengan berakhirnya abad perte-ngahan, maka semangat renaissance juga membawa suatu minat untuk mempelajari bahasa asli Alkitab disertai dengan keprihatinan terhadap hal kepenu-lisan dan keaslian Alkitab. Salah seorang pesaing Martin Luther di Jerman yang bernama Andreas Bodenstein (1480-1541), menganjurkan bahwa jika bukan Musa yang menulis kisah kematiannya di pasal 34, maka itu berarti ia juga tidak menulis sesuatupun dari kitab Pentateukh itu, karena Ulangan 34 memiliki sastra yang sama dengan bagian-bagian lain dari Pentateukh. Pada masa itu juga timbullah dengan sangat kuat kritik rasio-nalistis. Karena kurang tempat maka kita membatasi perhatian kita pada kritik rasionalistis ini. Kritik ini sudah dapat dilihat misalnya dalam buku Masius (meninggal 1573), seorang pengacara Roma Kato-lik. Ia mengatakan bahwa Ezra mungkin telah menyisipkan tulisan-tulisannya sendiri dalam kitab-kitab Musa. Demikian juga seorang Yesuit dari Spanyol, Benedict Pereira (1535-1610), berang-gapan, bahwa banyak bagian yang ditambahkan kemudian kepada Pentateukh. Dalam sebuah karya yang berjudul Leviatan (1651), filsuf deistik, Thomas Hobbes, mempertahankan pandangan yang menyatakan bahwa Musa menulis bagian-bagian pilihan yang dikaitkan dengannya, tetapi bagian terbesar dari kitab Pentateukh ditulis lama sesudah Musa.

Yang lebih penting adalah karya Benedict Spinoza (1632-77), yang sangat dipengaruhi oleh filsafat idealisme Descartes. Dalam bukunya yang berjudul, Tractatus Theologico-Politicus ia me-nyangkal bahwa Pentateukh ditulis oleh Musa dan mengatakan, bahwa mungkin Ezra yang menyu-sunnya, kemudian daripada Musa. Tetapi memang ada bagian-bagian yang ditulis oleh Musa menurut Spinoza. Mungkin sekali ‘documentary hypothesis’ (hipotesa berhubungan dengan naskah-naskah) mulai dengan pandangan Hans Witter (1711). Ia mengatakan, bahwa ada dua pemberitaan tentang penciptaan yang dapat dibedakan berdasarkan pemakaian nama Allah. Richard Simon (1638-1712), seorang imam Katolik Roma dan seorang professor filsafat menyimpulkan bahwa keserba-ragaman gaya bahasa yang terlihat dalam Pentateukh bersama-sama dengan masalah logis dan kronologis membuktikan bahwa tidak mungkin Musa menjadi penulisnya. Akan tetapi, siapapun penulis itu, ia pasti menggunakan sumber-sumber yang lebih tua. Di pihak Protestan, seorang teolog Armenia bernama Jean LeClerc menerbitkan sebuah buku pada tahun 1685 yang menyatakan bahwa ia sependapat dengan Simon bahwa Pentateukh ditulis pada tanggal yang lebih belakangan. Menurut LeClerc, Pentateukh ditulis sebelum perpecahan orang Samaria pada abad ke-4 sM.[7]

 

C.     Hipotesis Dokumen-Dokumen

 

Dipengaruhi oleh karya-karya diatas, dan semangat rasionalisme pada waktu itu, maka sejumlah sarjana mulai mencari sumber-sumber dan dokumen-dokumen untuk menjelaskan pembemtukan Pentateukh menurut versi mereka yang didasari oleh pemikiran humanis modern. Selama abad ke-18 dan ke-19, sebuah teori dikembangkan yang masih terus membawa pengaruh hingga masa kini. Teori itu disebut sebagai “documentary  hypothesis” atau hipotesis dokumen-dokumen.

 

1.      Perkembangan Penelitian Sumber

Seorang teolog bernama Campegius Vitringa menganjurkan pada tahun 1689 bahwa Musa menggunakan sumber-sumber purbakala pada waktu ia menulis mengenai para patriakh Israel. Vitringa menduga bahwa Abraham sendiri mungkin sudah membawa sumber-sumber tertulis dari Mesopo-tamia. Tapi biasanya permulaan ‘documentary hypothesis’ itu dihubungkan dengan Jeans Astruc, yang pada tahun 1753 menerbitkan sebuah risalah mengenai kitab Kejadian, yang ia tulis dalam bahasa Prancis yang berjudul “Conjectures About the Original Memoirs Wich It Appears Moses Used to Compose the Book of Genesis”.  Dalam karyanya ini, Astruc mengatakan, bahwa Musa mempunyai naskah-naskah tertulis yang dipakai dalam menyu-sun Kejadian. Naskah-naskah ini merupakan buku-buku peringatan kuno dan memuat sejarah dari nenek moyang Musa mulai penciptaan dunia. Musa membagi-bagi naskah-naskah ini menurut isinya dan dijadikan bagian-bagian kecil. Kemudian dikumpul-kan yang cocok, sehingga terbentuk Kej. Harus diperhatikan, bahwa Astruc tidak menyangkal Musa penulisnya.

Karya Astruc  sendiri rupanya hanya sedikit pengaruhnya. Sekitar tiga dasawarsa setelah Astruc, seorang rasionalis Jerman, Johann G.Eichhorn menerbitkan sebuah buku yang berjudul Einleitung atau Introduction to the Old Testament , pada tahun 1780-1783. Eichorn mengatakan, bahwa ia tidak mengikuti Astruc tapi pada dasarnya pekerjaannya sama dengan pekerjaan Astruc. Hanya ia melaksana-kannya lebih mendalam. Mungkin dialah yang pertama-tama memberikan tanda J dan E kepada kedua ‘sumber’ itu. J artinya Jehovah (Yahweh) dan E Elohim (Yahweh adalah nama perjanjian dari Allah dan Elohim kata biasa dalam bahasa Ibrani buat Allah). Mula-mula Eichhorn menganggap bahwa Musa sendiri menghubung-hubungkan sumber-sumbernya tapi kemudian ia mempertahan-kan pandangan bahwa seorang yang tidak diketahui namanya telah mengerjakan itu.

Suatu pendekatan yang sedikit berbeda dilakukan oleh Alexander Geddes, seorang teolog Katolik Roma Skotlandia, yang karya-karyanya diterbitkan antara tahun 1792 hingga 1800. Dalam hipotesis fragmennya, Geddes mengemukakan bahwa Pentateukh disusun pada masa Salomo oleh seorang redaktur (editor) yang menggunakan banyak fragmen. Ia menggunakan nama-nama ilahi  untuk memperkenalkan dua rangkaian sumber tetapi kriteria yang lain juga perlu. Di antara banyak fragmen itu, ada beberapa yang sezaman dengan Musa, dan ada yang lebih tua lagi. Geddes memasukkan Kitab Yosua ke dalam kajiannya dan menganjurkan bahwa editor yang sama telah me-ngumpulkan keenam kitab pertama dalam Alkitab itu. Ide mengenai suatu “Hexateukh” juga sudah mendapat dukungan diantara sejumlah sarjana modern.

Pada tahun 1798 Karl David Ilgen mengaju-kan gagasan, yang kemudian berpengaruh, bahwa ada dua Elohis dan satu Yahwis. Yang paling penting ialah bahwa ia menggolongkan kepada Elohis yang kedua itu bagian-bagian dalam Kej 1-11 yang menurut Astruc termasuk dalam daftar Yahwis. Dengan kata lain: yang dulu dianggap termasuk di J sekarang dipandang lebih dekat dengan E. dengan demikian menjadi terang bahwa nama-nama Allah sendiri bukan ukuran yang tuntas untuk membagi-bagi Kej menjadi berbeda-beda naskah. Ia sependapat dengan Geddes bahwa sangat perlu menggunakan criteria lain di samping nama-nama ilahi untuk mengenali sumber-sumber. Buku Ilgen ini kemudian menjadi dasar bagi tulisan-tulisan Hupfeld.

Hipotesis fragmen itu dikembangkan lebih jauh oleh Johann Vater dalam tafsirannya mengenai Pentateukh, diterbitkan tahun 1802. Vater adalah orang pertama yang menganalisa seluruh Penta-teukh, dan ia mengidentifikasi sekitar 40 fragmen yang berbeda-beda sebagai sumber materi penulisan. Seperti Geddes, ia mengakui bahwa beberapa dari fragmen-fragmen itu sudah ada pada masa Musa, tetapi penulisan dan penyutingan terakhir kitab-kitab Pentateukh ditempatkan pada masa pembuangan ke Babel.

Karya Wilhem M.L. DeWette menandalkan suatu taraf penting lain dalam perkembangan hipotesis dokumen. Dalam bukunya berjudul, Beitrage zur Einleitung in das Alte Testament, yang diterbitkan tahun 1807, DeWette mempertahankan hipotesis fragmen, tetapi ia menegaskan bahwa tidak ada bagian dari Pentateukh yang dapat diberi tanggal sebelum masa penulisan Daud. De Wette berteori bahwa Ulangan  ditulis pada waktu pemerintahan Yosia (622 S.M); kalau Ulangan disinggung isinya dalam kitab-kitab Pentateukh lainnya, ini pasti pekerjaan kemudian. Jadi sebenarnya ada tiga dokumen, dengan sebutan J,E dan D (menurut Ilgen, E)

Sebelum hipotesis dukungan memperoleh dukungan ada sejumlah sarjana yang mengajukan teori suplemen. Pada tahun 1823, Heinrich Ewald dalam bukunya “Die Komposition der Genesis Kritisch Unterscht”   dia membela kesatuan kitab Kejadian, yang merupakan oukulan telak bagi kepada karya sebelumnya. Dia tidak menyetujui pendekatan yang dilakukan DeWette, dan menya-takan bahwa kesatuan luar biasa dari kitab Kejadian tidak dapat dijelaskan dengan merujuk kepada bermacam-macam fragmen. Suatu penjelasan yang lebih mungkin adalah bahwa dokumen Elohis berada di balik komposisi Pentateukh. Kemudian hari, bagian-bagian dari suatu sumber E disisipkan ke dalam dokumen E. Pada tahun 1840, DeWette mendukung pandangan Ewald mengenai dokumen Elohis, serta menyetujui bahwa sumber E yang ditambah itu lebih masuk akal disbanding hipetesis fragmen. Dukungan tambahan datang dari J.C.F. Tuch, yang dalam suatu tafsiran atas kitab Kejadian menunjuk dokumen E sebagai sumber kunci dan menyebutnya grundscrift, dokumen dasa Penta-teukh. Dokumen ini ditambah dengan materi dari dokumen Y selama masa Salomo.[8]

Pada tahun 1840, Ewald menerbitkan sebuah buku berjudul History of the people of Israel. Dalam buku ini ia mengubah pandangan-pandangannya sedikit. Kini ia percaya bahwa E, Y, dan D tidak dapat menerangkan seluruh Pentateukh dan bahwa perlu diusulkan sumber-sumber lain sebagai fakta. Ia berbicara mengenai sebuah “ kitab perjanjian-perjanjian,” yang disusun di Yehuda selama masa hakim-hakim oleh seorang Lewi yang memasukkan banyak bahan dari dokumen E. Penulis-penulis belakangan menambahkan sebuah geografi Musa, mencantumkan nama “Yahweh”  dalam teks itu dan pada umumnya menyuting ulang seluruh materi. Formulasi Ewald ini kadang-kadang disebut sebagai teori kristalisasi, sebab setiap penulis berturut-turut mengerjakan ulang semua materi sebelumnya, bukan hanya menambahkan kontribusinya lalu membiarkan materi lain tanpa menyentuhnya.[9]

Sementara DeWette dan Ewald sedang mengubah posisi mereka dalam suatu usaha untuk sampai kepada suatu hipotesis yang memuaskan, sebuah buku penting diterbitkan di Berlin oleh Wilhelm Vatke. Vatke memandang telaah-telaah Alkitab lewat system filsafat Hegel yang sangat mempengaruhi pemikirannya. Menurut Hegel, perkembangan agama merupakan suatu proses bertingkat tiga: (1) suatu fase alamiah; dalam fase ini, Allah dan alam entah bagaimana disamakan; (2) suatu fase di mana Allah dianggap menjadi roh yang pribadi; (3) suatu fase dimana Allah dianggap sebagai roh yang kekal. Vatke menyusun materi Alkitab untuk mencocokkannya dengan skema berikut ini: (1) hakim-hakim dan kerajaan (monarki) mula-mula (tesis); (2) nabi-nabi dan monarki yang kemudian (antitesis); (3) periode sesudah pembuangan (sintesis). Pentateukh tergolong di bawah tingkat 3, pada waktu perundang-undangan Israel dilembagakan secara resmi. Ajaran mono-teisme Musa cocok dengan tingkat sintesis, dan karena itu, Pentateukh adalah produk dari negara itu, bukan dasar dan bukan konstitusi negara itu. Bahkan “dokumen dasar” Taurat itu mungkin berasal dari periode pembuangan. Pandangan-pandangan Vatke dianggap radikal pada waktu itu, tetapi pandangan-pandangannya mempunyai pengaruh yang kuat pada Wellhausen pada dasawarsa-dasawarsa berikutnya.[10]

 

2. Hipotesa dokumen yang telah diubah

Tepat 100 tahun setelah Astruc mengeluar-kan bukunya, hipotesa dokumen ini mengalami perubahan penting. Petunjuk-petunjuk kepada perubahan ini sebenarnya sudah terdapat dalam buku Ilgen. Tapi baru Herman Hupfeldlah yang menjadikan perubahan ini kuat, terutama setelah dia menerbitkan bukunya pada tahun 1853 yang berjudul, The Source of Genesis. Hupfeld meng-hidupkan pandangan yang dulu dipegang oleh Ilgen, dengan meneliti dokumen Elohis dengan sangat teliti, Ia berpendapat bahwa naskah E tidak merupakan suatu kesatuan, tapi meliputi dua naskah, yang satu lebih dekat dengan J, daripada dengan sisa dari E. karena itu Hupfeld berpandangan, bahwa ada Elohis pertama dan ada Elohis kedua. Selanjutnya masih ada Yahwis dan Ulangan. Urutan yang diikuti Hupfeld adalah E1, E2, J dan D (Deuteronomy). Kemudian Elohis pertama menjadi terkenal sebagai ‘dokumen imam’ karena sangat memperhatikan hal-hal imamat, hal-hal yang secara dugaan saja memuat silsilah-silsilah, perjalanan-perjalanan, bahkan juga Kej 1 yang tidak menampakkan sangkut-paut dengan imamat sama sekali. Dengan demikian keempat dokumen telah mempunyai urutannya, yaitu P, J, E, D.  dipandang sebagai yang terakhir.

 

3.      Hipotesa perkembangan (Development Hypothesis)

 

Hipotesa dokumen dapat dikatakan bersifat kaleidoscopis (sering berubah). Tidak lama setelah karya Hupfeld, maka pada tahun 1834 Eduard Reuss berpendapat , bahwa dokumen Elohis yang dianggap sebagai dasar (yaitu P) bukan yang paling tua melainkan sebenarnya yang paling muda. Tapi baru agak lama sebelum pandangan Reuss menjadi berpengaruh. Karl Heinrich Graf mempelajari perundang-undangan dalam Pentateukh dan dari penyelidikannya ini ia sampai kepada kesimpulan, bahwa dokumen imamatlah sebenarnya yang terakhir. Ia sebenarnya mengikuti gurunya Eduard Reuss. Pertama-tama, Graf menganggap E1-nya Hupfeld sebagai “dokumen dasar” yang kemudian ditambah oleh J. Akan tetapi, kehadiran hukum keimaman-dalam E1, yang rupa-rupanya ditulis kemudian dari kitab Ulangan meyakinkan Graf bahwa bagian-bagian hukum dari E1 seharusnya diberi tanggal penulisan pada masa Ezra. Namun, ia mempertahankan bahwa bagian-bagian narasi E1 ditulis pada masa kuno, sampai argumentasi Kuenen yang menentang pandangan itu yang menyebabkan dia mengubah pendiriannya. Naskah yang disebut “Kitab Kekudusan”, Imamat 1-26, dihubungkan dengan masa Yehezkiel, walaupun itu adalah bagian dari hukum keimaman-yang disatukan dengan E, J, dan D oleh Ezra.

Abraham Kuenen yang sezaman dengan Graf adalah seorang sarjana Belanda yang diakui telah membuktikan E1(P, dokumen Priest ), dan penulisannya yang kemudian dalam bukunya De Godsdient van Israel. Kuenen juga mengajukan pertanyaan, apakah E2 (E) atau Y adalah dokumen yang lebih tua, dan pembelaannya terhadap urutan Y-E sudah tidak dibalikkan.

 

Orang yang paling berjasa dalam memper-halus dan mempopulerkan hipotesis dokumen adalah Julius Wellhausen, seorang sarjana dari Jerman dan ahli bahasa-bahasa Semit dan seorang teolog yang dididik dibawah Ewald. Wellhausen menyetujui kesimpulan Hupfeld, Graf serta Kuenen dan bersama-sama dengan Vatke, sangat dipengaruhi oleh filsafat Hegel. Pendekatan dialektik Hegel bergandengan tangan dengan model evolusi Darwin yang diuraikan dalam bukunya The Origin of Species. Karena diberi semangat oleh popularitas Darwin, pandangan Wellhausen bahwa agama Israel berkembang dari suatu animisme naturalistik kepada monoteisme tingkat tinggi. Tesisnya secara keseluruhan diuraikan dalam buku The Composition of Hexateukh (1876-77)  dan Introduction to the History of Israel (1878). Pandangannya yang sangat meyakinkan, membuat  dialah menjadi orang yang disebut sebagai orang yang melahirkan hipotesa perkembangan itu. Wellhausen menganggap:

·           Bagian paling awal Pentateukh mula-mula diambil dari dua dokumen terpisah, yaitu Yahwis (850 SM) dan Elohis (650 SM).

·           Dari dokumen-dokumen Yahwis ini dikompilasi satu karya berbentuk narasi (650 SM)

·           Kitab Ulangan muncul pada zaman Yosia dan si pengarang menggabungkan ke dalam karya Yahwis.

·           Peraturan-peraturan keimaman dalam dokumen Elohis sebagian besar adalah karya Ezra dan dianggap sebagai dokumen keimaman.

 

Sekitar 200 SM para penyunting berikutnya merevisi dan mengerjakan ulang berbagai dokumen menjadi Pentateukh yang kita kenal sekarang ini.

 

D.    Aliran Form-Criticism (kritik berdasarkan bentuk sastra)

 

Penyelidikan arkeologi memberikan kete-rangan baru tentang kebudayaan-kebudayaan dunia purba. Agama-agama purba dipelajari dan disban-dingkan dengan Alkitab. Sementara itu sejumlah metodologi kritis telah muncul untuk memper-banyak dan dalam beberapa hal untuk menantang penelitian kepustakaan (sumber). Salah satunya adalah “penelitian bentuk sastra” (form criticism) yang dikembangkan oleh Herman Gunkel. Hermann Gunkel menulis sebuah buku yang pada segi-segi tertentu sudah memuat benih-benih yang akan menggulingkan hipotesa perkembangan. Maksud Gunkel adalah untuk memperlihatkan dengan cara bagaimana bahan dari Kej diambil dari kebudayaan-kebudayaan lain dan disesuaikan dengan keperluan Israel; dan Gunkel juga bermaksud untuk menunjuk-kan nilai yang diberikan pada akhirnya dalam Israel. Perkembangan transformasi (perubahan)Umbildung ialah sifat khusus agama Israel, demikian menurut Gunkel. Hal istimewa dalam agama Israel adalah kepercayaan, bahwa Allah telah menyatakan diri dalam sejarah Israel.

Jadi Kej 1 bukannya karangan bebas, tapi cerita-cerita purba ada dibelakang tulisan imamat ini. Cerita-cerita atau hikayat-hikayat dari Kej adalah cerita-cerita yang diberikan oleh orang-orang Israel zaman purba, yang dilanjutkan dari keturunan demi keturunan sampai mencapai bentuk yang tetap. Pada mulanya hikayat-hikayat ini tidak mempunyai hubungan yang khusus tapi lama kelamaan hikayat itu dihubungkan dengan tokoh-tokoh terkenal seper-ti Abraham. Baru kemudian hikayat-hikayat itu dikumpulkan menjadi himpunan-himpunan yang lebih besar, yaitu dokumen-dokumen yang dikenal sebagai J.E. dsb, dan semua ini pada akhirnya dijadikan satu. Himpunan yang sebenarnya yang harus diselidiki adalah hikayat-hikayat itu sendiri, dan tugas dari si penyelidik ialah menentukan bentuknya yang asli dan sejauh mungkin keadaan zaman yang melahirkan himpunan itu demikian menurut Gunkel.

            Karya Gunkel diteruskan oleh orang lain, yang terkenal adalah Hugo Gressman, yang mene-rapkan cara kerja tersebut pada Kel. Memang jelas pada akhirnya segenap PL diperlakukan seperti di atas dalam suatu seri dari empat jilid, yang terkenal sebagagai The Writings of The Old Testament 1911. Cara pendekatan PL ini sangat berpengaruh dan mendasari hampir semua penyelidikan kritis sekarang.

           

E.     Penyelidikan Tentang Tradisi-Tradisi

Yang erat berhubungan dengan penelitian bentuk sastra adalah metode yang sudah terkenal dengan nama “penelitian tradisi” atau “sejarah tradisi” (Traditiongeschichte).  Suatu teknik pende-katan kepada Alkitab yang sulit untu k didefenisikan sama seperti penelitian bentuk sastra. Banyak sarjana yang mengikuti metode ini, dan mereka tidak selalu memakai cara yang sama. Beberapa pengkritik tradisi menekankan sejarah tahap prasastra sebuah kitab atau suatu tema sendiri; orang lain lagi menekankan sejarah tingkat-tingkat sastra suatu prosedur yang tidak jauh berbeda dari penelitian redaksi.[11]

Pekerjaan yang tak kalah penting sehu-bungan dengan penelitian tradisi ini adalah pekerjaan Gerhard von Rad, yang bertolak dari Ul. 26:5b-11. Bagian ini dianggap sebagai pengakuan (credo) dalam kebaktian. Disini tidak disebut-sebut peristiwa-peristiwa Sinai. Ini menurut von Rad penting sekali. Berdasarkan hal ini, dan hal yang sama dalam bagian-bagian lain (mis. Kel. 15; Mzmr 136), ia berkesimpulan bahwa tadisi-tradisi Sinai mula-mula terpisah dari tradisi-tradisi tentang keluaran dan kemenangan Israel. Von Rad tidak menyangkal bahwa bapa-bapa leluhur Israel dulu benar-benar ada, tetapi ia mengatakan bahwa mereka mengikuti cara ibadah yang disebut ‘Allah dari nenek moyang’ dan bahwa masing-masing mereka mempunyai allahnya sendiri.

            Dalam sebuah buku penting lainnya menge-nai pokok ini, Martin Noth juga menyatakan tema-tema kunci yang dinyatakan dalam pernyataan-pernyataan iman Israel.[12] Motif-motif seperti pim-pinan dari Mesir, janji kepada bapa leluhur, dan perjanjian di gunung Sinai merupakan tradisi umum (disebut Grundlage atau G) yang dibentuk selama masa hakim-hakim dan merupakan bahan sumber untuk J dan E. Kesamaan-kesamaan yang ada di dua dokumen itu dijelaskan oleh G. Noth lebih terkenal karena ia mengidentifikasi editor kitab Ulangan yang bertanggung jawab untuk penulisan kitab Ulangan sampai dengan ktab II Raja-Raja. “Karya Deutronomis ini menggunakan beberapa materi yang lebih awal pada waktu mengulang sejarah Israel dari saat masuk Tanah Perjanjian hingga keruntuhan Yerusalem. Menurut Noth, Ulangan pasal 1-3 berfungsi sebagai pendahuluan kepada seluruh materi yang tertulis selama masa pembuangan. Pada hakikatnya, teori ini menegakkan suatu “tetrateukh” dari kitab Kejadian hingga kitab Bilangan, walaupun Noth tidak menghubungkan Ulangan pasal 31-34 dengan kitab-kitab yang lebih awal.[13]

            Di Swedia, “Aliran Uppsala” mengikuti beberapa gagasan von Rad dan Noth, tetapi me-nyingkirkan ketergantungan-ketergantungan kepada hipotesis dokumen-dokumen. H.S. Nyberg berpen-dapat bahwa teori sumber Wellhausen mengurangi pentingnya tradisi lisan, yang menurut pandangan-nya layak mendapat lebih banyak perhatian. Ivan Enggnell mendukung pandangan-pandangan Nyberg dalam bukunya, Traditio-Historical Introduction of 1945, dimana ia membicarakan “aliran-aliran” atau “kalangan-kalangan” tradisi. Seperti Noth, baik Nyberg maupun Engnell memisahkan kitab Kejadian-Bilangan dari kitab Ulangan-kitab Raja-Raja. Kelompok pertama adalah suatu “karya P” yang dipelihara dan diteruskan oleh kalangan imam-imam di Kerajaan Selatan, sedangkan “karya D” mencerminkan tradisi-tradisi Kerajaan Utara. Kebanyakan tradisi ini baru ditulis pada masa pembuangan kecuali beberapa bahan yang me-nyangkut undang-undang.

 

F.      Penelitian Retoris

 

Dalam sebuah artikel yang berjudul. “Form Criticism and Beyond,” yang terbit pada tahun 1969, James Muilenburg mengemukakan bahwa telaah mengenai kesusastraan Ibrani dan metode-metode yang digunakan untuk menyusun materi itu sebagai suatu keseluruhan yang disatukan hendaknya disebut “penelitian retoris.”[14] Karena penelitian bentuk sastra kurang cukup banyak perhatian kepada ciri-ciri khas suatu perikop tertentu, maka orang-orang yang mengadakan penelitian retoris dapat membetulkan kelalaian tersebut. Melalui kajian yang cermat mengenai cirri-ciri gaya bahasa dari suatu perikop tertentu, peneliti itu dapat menguraikan pemikiran penulis dalam cara yang lebih memuaskan. Kajian semacam itu memper-hatikan pola-pola struktur yang digunakan, yaitu hubungan timbal balik antara berbagai unit dan terjadinya pengulangan dan metode yang mungkin digunakan secara mahir. Sebagian besar contoh yang digunakan Muilenburg telah diambil dari puisi, namun prosa juga dapat menjadi bidang yang produktif bagi penelitian retoris.

 

Pandangan Higher Criticism Terhadap Kesatuan Kitab Yesaya

 

Selama berabad-abad semenjak kepenulisannya tidak ada keraguan bahwa Yesaya bin Amos sebagai penulis setiap bagian dari kitab Yesaya. Sejarah gereja dan orang Yahudi tidak meragukan bahwa Yesaya merupakan penulis dari seluruh kitab tersebut, bahkan tidak ada sebuah pemikiran dalam pikiran mereka tentang penulis lain selain daripada nabi Yesaya. Namun setelah kebangkitan dari sekolah-sekolah liberal di Jerman, terutama oleh pengaruh rasionalis, timbul keraguan akan kesatuan kitab ini dan mereka mulai mempertanyakan kitab ini.

 

A.     Sejarah Kritik Terhadap Kitab Yesaya

 

Jauh sebelum timbulnya liberalisme, seorang komentator Yahudi yang bernama Ibn Ezra mera-gukan kesatuan kitab Yesaya. Ia mengatakan bahwa pasal 40-66 merupakan tulisan dari seorang nabi yang hidup pada masa pembuangan di Babel. Dia mengutip pandangan dari tokoh sebelumnya yang bernama Moses Ben Samuel ibn Gekatilla, yang memegang pandangan yang sama. Akan tetapi pandangan ini tidak berkembang secara luas.

Kritik yang lebih modern terhadap kesatuan kitab Yesaya dimulai oleh Koppe, yang pada tahun 1780 meraguan keaslian Yesaya pasal 50. Sembilan tahun kemudian Doerdelein mengembangkan pan-dangan ini dengan meragukan pasal 40-66 sebagai tulisan Yesaya. Pandangan ini kemudian diikuti oleh Rosenmueller, dan dia merupakan orang pertama yang menyangkal nubuatan Yesaya tentang Babel dalam pasal 13: 1-14:23. Kemudian Eichorn, pada permulaan abad 18, juga menyingkirkan “ucapan ilahi terhadap Tirus” pada pasal 23 sebagai tulisan Yesaya, dan bersama Genesius dan Ewald menyangkal keaslian tulisan Yesaya dalam pasal 24-27. Genesius juga menganggap bahwa ada seorang nabi yang tidak dikenal sebagai penuli pasal 15 dan 16. Rosenmueller juga mendukung pendapat ini dan menambahkan pasal 35 dan 36 tidak lama sesudahnya (1840), kemudian Ewald juga mem-pertanyakan pasal 12 dan 33. akhirnya pada pertengahan abad kesembilan belas ada sekitar 37 atau 38 pasal yang ditolak sebagai tulisan Yesaya.

Pada tahun 1879-1880, Franz Delitzsch, yang selama beberapa tahun sebelumnya menerima kesatuan kitab Yesaya, pada akhirnya memutuskan untuk menerima pandangan dari kritik modern ini. Dan di dalam edisi baru tafsiran yang dituliskannya dan dipublikasikan pada tahun 1889, dia menginterpretasikan pasal 40-66 dan meragukannya kepenulisan Yesaya, dan mengusulkan bahwa pasal tersebut berasal dari periode pembuangan di Babel. Dalam tahun yang sama, Canon Driver dan Dr. Adam Smith mempopulerkan pandangan baru ini di Inggris.

Sejak tahun 1890, kritik terhadap Yesaya terus mengalami perkembangan dan lebih spesifik dari sebelumnya. Duhm, Stade, Guthe, Hackman, Cornill dan Marti dari benua Eropa, kemudian Cheyne, Whitehouse, Box, Glazebrook, Kenneth dan bebe-rapa lainnya berasal dari Inggris dan Amerika, mempetanyakan keaslian kitab Yesaya.

Meskipun akhirnya pasal 40-66 diterima sebagai “deutro-Yesaya” yang ditulis oleh seorang nabi anonim pada masa pembuangan di Babel (550 BC), namun pandangan ini terus dikembangkan, yang akhirnya dibagi lagi menjadi beberapa bagian.  Adalah Berhard Duhm dalam karyanya kembali membagi pandangan “Deutro-Yesaya” ini menjadi dua bagian. Dalam tafsirannya yang diterbitkan pada tahun 1892, dia memasukkan teori baru yang telah diwarnai oleh beberapa kritikus sebelumnya. Dia berpendapat bahwa pasal 56-66 merupakan karya seorang penulis “pasca pembuangan” yang dinamai dengan “Trito-Yesaya”.Duhm percaya, kebalikan dari beberapa kritik terkemudian, bahwa Deutro-Yesaya tinggal bukan di Babel, tetapi di Palestina atau Mesir. Hal penting juga adalah masalah identifikasinya terhadap “nyanyian hamba” yang menurut dia terdapat dalam Yesaya 42:1-4; 49:1-6; 50:4-9; 52:13-53:12, dan dia menetapkan tulisan ini sebagai hasil dari penulis yang lain. Teori Trito-Yesaya ini tidak secara luas diterima oleh umum, kecuali oleh beberapa sekolah kritik.

Bagaimana waktu  kemudian kitab Yesaya menjadi bentuk yang seperti sekarang? Duhm percaya bahwa beberapa dari koleksi potongan-potongan ini beredar secara luas dan terpisah sebelum akhirnya dikumpulkan menjadi satu Volume, yang mana kemudian menjadi besar dengan penambahan-penambahan, yang pertama pasal 1-39, kemudian 40-55 dan akhirnya pasal 56-66. Karl Budde, yang menulis sekitar abad kedua puluh memberikan pandangan dari sudut alternatif lain.  Koleksi kecil dari nubuatan Yesaya dibentuk dari beberapa abad sebelumnya, yang akhirnya dikembangkan oleh murid-murid Yesaya dan juga oleh sekolah asosiasi Deutro-Yesaya, yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan bersama-sama hingga menjadi bentuk yang kemudian yaitu pasal 56-66. S. Mowinckel menyebutkan bahwa setidaknya sekolah Deutro Yesaya itu eksis selama 2 abad.

 

B.     Beberapa Kritik yang Lebih Radikal

 

Pandangan baru yang semakin mewarnai studi kritik terhadap kitab Yesaya ini adalah dengan bangkitnya pandangan dari form criticism (kritik bentuk), yang dipelopori oleh Herman Gunkel. Allis dengan sangat tepat mendefinisikan metode ini sebagai “the attempt to determine, to classify, and to trace the history of the various literary types or pattern wich are to be found in the Bible and to relate them to similar ‘form’ to be found in other literatures.”[15] Form criticism menyelidiki bentuk-bentuk sastra, himne, syair cinta, nubuatan, gaya bahasa dan permasalahan-permasalahan dalam PL. hal-hal seperti inilah yang dipakai juga dalam meneliti fragmen di kitab Yesaya dan diselaraskan satu dengan yang lain, terutama dalam pasal 40-55, yang merupakan satu bagian unit yang diakui secara luas dan diterima sebagai bagian yang asli tetapi mempunyai perbedaan dalam unit-unit yang lebih kecil. J. Begrich memulai menggunakan kritik bentuk ini terhadap Deutro Yesaya dan S. Mowinckel, yang menekankan kepada bagian-bagian yang meliputi “ucapan ilahi” yang mula-mula disampaikan secara lisan, dan akhirnya dikumpulkan dan digabung menjadi bentuk yang lebih besar. Weismann seorang kritikus yang lebih berkembang dalam comentarinya  menjelaskan bahwa bagian yang terbesar merupakan hasil dari nabi itu sendiri.

Beberapa kritikus yang lain terutama dari “kritik redaksi,’  menekankan kepada editor atau para editor kitab-kitab nubuatan. Seperti yang dikemukakan oleh R.E. Clements, “ Kitab Yesaya yang datang kepada kita sebagai sebuah literatur yang terdiri dari 66 pasal, dan ini diberikan dalam bentuk data yang  harus dihormati sebagai sebuah roman yang membutuhkan penjelasan.[16] Tetapi dalam faktanya, Clement, didalam artikelnya, menekankan bahwa nubuatan dalam  Deutro-Yesaya ditempatkan dalam kitab Yesaya untuk melengkapi Yesaya 1-39, , yang diberikan ke dalam sebagai alasan terhadap penghukuman atas Yehuda dan Jerusalem. B.S. Childs berpendapat bahwa frasa “ hal-hal yang dulu” dalam 42:9; 43:9,16-19 keseluruhan, menunjuk kepada fakta nubuatan Yesaya di Yerusalem.[17] Dia  berkata, “ Sifat dari pengetahuan biblika dari nubuatan  dan penggenapannya dibuat jelas oleh bentuk kanon dari kitab Yesaya. Perjanjian Lama bukanlah  sebuah pesan tentang tindakan ilahi di dalam sejarah saja tetapi tentang kuasa dari firman Allah.”[18] W.M.Brownlee, mengantisipasi sesuatu ini, dengan menekankan bukti dari “1Qisa” (sebuah space dari 3 baris sebelum pasal 34 dalam kitab Yesaya yang ditemukan di gua Qumran) memperlihatkan bahwa Yesaya merupakan karya 2 volume, tetapi pem-bagiannya setelah pasal 33, dan dia mendemonstrasikan bahwa disana ada suatu kesepakatan besar  dari  hubungan tema diantara dua bagian-bagian.”[19]

Sama seperti kritik yang lain, kritik ini juga terus mengalami perkembangan. Herman Barth mengemukakan teori “redaksi mayor” pada masa Yosia, dan percaya bahwa mereka mnggunakan banyak fragmen yang digunakan oleh redaktur. Sementara itu R.P. Carroll, mengaplikasikan teori psikologi dari “cognitive dissonance  kepada seluruh nubuatan PL termasuk kitab Yesaya. Menurut pandangan ini nubuaatan secara konstan terbukti terbukti dalam kesalahannya dan diadopsi oleh gererasi kemudian untuk mencocokkan dengan keadaan sebenarnya.

Namun dari keseluruhan pendapat diatas hanya dibutuhkan sebuah pembuktian bahwa keseluruhan catatan dari kitab Yesaya bin Amos dapat menjamin otoritas pengajarannya sebagai sebuah hal bagian yang penting dari PL sebagai persiapan bagi Kristus.

 

C.     Alasan-Alasan Penolakam Higher Criticism Terhadap Kesatuan Kitab Yesaya

 

Selama beberapa abad, para kritikus ini telah mengemukakan teori mereka secara panjang lebar dan juga menghasilkan karya-karya yang besar. Berikut ini merupakan beberapa alasan para kritikus Hihger Criticism menolak kesatuan kitab Yesaya :

·        sudut pandang sejarah

·        gaya bahasa

·        pandangan teologis

·        sebutan Koresy

Driver mengajukan tiga alasan sendiri secara terperinci.[20]

Pertama, nubuat itu sendiri menunjuk kepada masa pembuangan di Babel. Yerusalem dihancurkan dan ditingggalkan (Yes. 44:26; 58:12; 61:4; 63:18; 64:10). Nabi berbicara kepada orang buangan di Babel (Yes. 40:21,26,28; 43:10; 48:8; 50:10-11; 51:6,12-13; 58:3 dst.).

Kedua, gaya bahasa Yesaya 40-66 sangat berbeda dengan gaya bahasa Yesaya 1-39. Driver secara luas membuktikan hal ini dan juga membahas pokok-pokok yang sukar diilustrasikan, misalnya gaya yang ringkas dan padat dari Yesaya sendiri dibandingkan dengan pengembangan suatu gagasan secara panjang lebar oleh Deutro-Yesaya dan retorik yang muram dari Yesaya sendiri dibandingkan dengan retorik yang bersemangat dari Deutro-Yesaya.

Ketiga, gagasan teologis Yesaya 40-66 sangat berbeda dengan gagasan teologis dalam Yesaya 1-39 yang tampak sebagai gagasan khas Yesaya sendiri. Pengarang bagian kedua “bergerak dalam lingkungan pemikiran yang berbeda dengan Yesaya; ia memahami dan menekankan aspek-aspek kebenaran Allah yang lain sekali.”

Eissfeldt juga mendaftarkan 3 alasan secara singkat:[21] 

·        nama Koresy yang disebut “Gembalaku” (Yes.44:28) dan “orang yang Kuurapi” (Yes.45:1).

·        Babel (bukan Asyur) yang diancam akan mengalami keruntuhan (Yes. 47:1; 48:14); dan

·        Kekhasan bahasa dan pikiran. Sedangkan alasan untuk adanya Trito-Yesaya diringkaskan oleh Weiser sebagai berikut:[22]

·        didalam bagia terakhir kitabnya bangsa itu tinggal di Palestina dan Yerusalem sudah dibangun kembali

·        yang menjadi pokok bukan lagi kerinduan besar akan pembebasan dan kembali ke tanah air, tetapi mengenai keadaan, rincian dan pertengkaran yang menyedihkan dalam kehidupan masyarakat (Yes 56:9 dst.; 57:3 dst.; 65:1 dst.; 66:3 dst.);

·        pengharapan akan keselamatan memperlihatkan warna yang sangat duniawi dan bendawi; dan

·        pemahamannya mengenai Allah tidak sehebat pemahaman Deutro-Yesaya, dan tidak ditemukan optimisme serta kepercayaan yang kuat dari nabi tersebut.

Weiser mencatat bahwa dalam  Yesaya 60-62 “ ucapan dari Deutro-Yesaya sering digunakan dan dikutip, namun arti aslinya telah diubah.” Ia memandang hal ini sebagai suatu “jurang yang dalam” antara Deutro-Yesaya dan Trito-Yesaya.[23]

 

IV. Pandangan Higher Criticism Terhadap Injil Sinoptik

 

            Diantara keempat kitab Injil yang ditulis dalam PB, Injil Matius, Markus, dan Lukas hampir memiliki pola yang sama, sehingga ketiga Injil ini hampir nampak  sama. Perbedaan yang terlihat hanyalah bahwa kitab Markus ditulis dengan ringkas, padat dan jelas, sedangkan Matius menulis Injil Matius dengan agak panjang dan menge-lompokkan pokok-pokok yang sama, sementara Lukas menulis dengan agak panjang dan sangat berurutan.  Adanya satu pola dalam ketiga Injil tersebut terlihat dalam kesamaan urutan cerita tentang Yesus, mulai dari kelahiran hingga kematianNya, oleh sebab itu ketiga Injil ini sering disebut sebagai Injil Sinoptik. Istilah Sinoptik berasal dari kata Yunani sunaptikos,” melihat sesuatu bersama-sama”, dan itu merupakan karakteristik dari ketiga Injil ini.

 

A.     Teori Kritik Awal terhadap Injil Sinoptik

 

Kesamaan  yang terdapat dalam ketiga Injil tersebut akhirnya membuat banyak sarjana Liberal bertanya, apakah diantara penulis ketiga Injil itu terjadi saling mengutip antara yang satu dengan yang lain. Mereka akhirnya memulai suatu penyelidikan terhadap ketika Injil ini dengan asumsi dasar mereka bahwa ketiga Injil ini juga sama dengan buku-buku yang lain, dan lebih mementingkan rasio manusia mereka yang juga dipengaruhi oleh filsafat modern. Akhirnya mereka melahirkan beberapa teori tentang problem injil sinoptik ini.

 

1.      Teori Tradisi Lisan

 

            Teori ini berpendapat bahwa sebelum kitab-kitab Injil ditulis, sumber untuk berkotbah dan mengajar, dan meneguhkan orang dalam gereja ialah tradisi tentang Yesus yang dipertahankan secara lisan, atau dalam kumpulan keci yang dapat dikembangkan. Ketika kitab-kitab Injil sudah beredar, maka gereja tidak lagi perlu berpegang pada tradisi yang berubah-ubah ini, melainkan pada bentuk-bentuk tulisan yang berbentuk kitab yang merupakan catatan materi yang tua. Tradisi lisan ini tetap terpelihara bukan karena upaya yang sistematis dengan maksud yang berhubungan dengan jaman kuno itu, melainkan karena tuntutan atau kepentingan jaman dari komunitas itu. Dalam layanan seperti itu, maka fungsinya sebagai tradisi lisan akan tetap bertahan selama kepentingan praktis itu tetap aktif.

 

2.      Teori  Injil Saling Bergantung

 

            Teori ini mengajarkan bahwa penulis per-tama mengambil bahan dari tradisi lisan, kemudian penulis kedua menggunakan materi yang telah ditulis oleh penulis pertama, dan ketiga mengambil bahan dari kedua penulis sebelumnya. Mengingat bahwa dahulu orang tidak terikat pada undang-undang hak cipta maka orang secara bebas memanfaatkan dokumen yang tertulis sesuka hati mereka. Teori ini dicetuskan oleh Griesbach pada tahun 1789.

 

3.      Teori Injil Primitif

 

            Teori ini mencetuskan bahwa sebelumnya ada Injil primitif yang disebut Urevangelium yang sudah tidak ada lagi dan penulis –penulis Injil meminjam bahan dari Injil tersebut.

 

4.      Teori Fragmen

 

                Teori ini mengajarkan bahwa penulis-penulis Injil menyususn catatan mereka dari tulisan-tulisan di fragmen tentang kehidupan Kristus.

                5. Teori Dua Dokumen

            Teori ini mengajarakan bahwa  Kitab Matius dan Lukas mengambil bahan yang sama dari Markus, dan kitab Markus merupakan Injil yang ditulis paling awal.  Disimpulkan bahwa kitab Matius menggunakan 90% kitab Markus dan Lukas menggunakan 50%. Namun karena Matius dan Lukas memiliki cukup materi yang sama tetapi tidak terdapat dalam Markus maka mereka pasti memiliki satu sumber lain yang sama. Bahan yang dimiliki bersama oleh Lukas dan Matius tetapi bukan dari Markus ini lazimnya disebut bahan “Q”. Simbol “Q” ini merupakan sandi untuk kata Jerman Redenquelle yang berarti “sumber sabda-sabda”. Q dipercayai sebagai sebuah koleksi sabda Yesus yang sudah tersedia secara tertulis dalam bahasa Yunani. Sumber Q ini tidak memiliki kisah masa kanak-kanak dan kisah sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus. Dan mereka juga berpendapat bahwa sumber Q tersebut tidak ada salinannya tetapi hanya merupakan sebuah hipotesis belaka.

 

6.      Teori Empat Dokumen

 

            Teori ini menyebutkan bahwa Markus merupakan Injil pertama yang ditulis dan bahwa Matius dan Lukas menggunakan baik Markus dan Q secara independen, lazimnya disebut “hipotesis dua sumber”. Namun disamping itu mereka juga memberi tempat bahwa ada sumber-sumber khusus yang lain yang digunakan oleh Matius dan Lukas, yaitu bahan-bahan tradisi yang hanya dikenal  dan dipakai oleh salah satu dari mereka. Bahan-bahan khas ini lazimnya diberi tanda “L” dan “M”. “M” merupakan “kata-kata” pribadi sumber dari Matius yang ditulis sekitar tahun 65 Masehi dan “L” sumber pribadi Lukas ditulis di Kaisarea sekitar tahun 60 Masehi, sedangkan “Q” ditulis di Antiokhia sekitar tahun 50 Masehi dan Markus ditulis di Roma sekitar tahun 60 Masehi.

 

B.     Perkembangan Kritik Modern

 

            Kritik tehadap Alkitab terus mengalami perkembangan. Sarjana-sarjana Liberal terus beru-saha menggali dan mengembangkan pemahaman mereka dalam mengkritik Alkitab. Seiring dengan itu mereka akhirnya memunculkan kritik-kritik yang terus diperbaharui dengan konsep rasio mereka dan mengabaikan Alkitab sebagai firman Allah. Dalam masalah Problem Injil sinoptik mereka juga menggulirkan berbagai teori kritik yang lebih modern.

 

1.      Kritik Historis

 

            Kritik ini mengalami kejayaan sekitar tahun 1950-an. Para teolog kritik historis  berusaha menyelidiki latar belakang kitab-kitab Injil yang ditulis oleh murid-murid Yesus. Perbedaan-perbedaan didalamnya diekspos sedemikian rupa untuk membuktikan bahwa tulisan Injil merupakan  tafsir ulang penulis Injil, bahkan lebih jauh mereka menyimpulkan bahwa Injil itu bukan hanya sekedar tafsir ulang tetapi juga merupakan ungkapan  iman penulis dan bukan peristiwa historis. Pendekatan yang mereka lakukan dikenal dengan teori Linguistik Modern, , suatu displin ilmu dengan prinsip-prinsip; (a) mengutamakan pendekatan terhadap teks secara “sinkronik” dan bukan secara “diakronik”, (b) Menekankan unsur-unsur ujaran daripada bentuk tertulis suatu bahasa, dan (c) pemahaman terhadap bahasa sebagai suatu sistem yang terstruktur.[24]

             

2.      Kritik Sumber

 

            Kritik sumber berusaha untuk mengidentifi-kasi sumber-sumber yang digunakan dalam penu-lisan Injil Sinoptik dan mengidentifikasi hubungan-nya dengan Injil-Injil itu. Didalam penentuan sumber-sumber itu setidaknya mereka mempunyai beberapa pertanyaan dasar. (1) Apakah dokumen yang sedang dipelajari itu menunjukkan adanya sumber? (2) Apa yang dikatakan sumber tersebut? (3) Apa yang dilakukan pengarang dengan sumber tersebut? (menyalin? Mengubah? Atau salah paham?). Menentukan adanya sebuah sumber, me-netapkan isi dan makna sumber itu, dan bagaimana sumber itu dipakai, merupakan tiga pokok penelitian sumber.[25] 

Adanya sumber-sumber mereka tentukan juga bila mereka melihat ayat tertentu membuat alur pemikiran atau gaya bahasa yang berbeda dari konteksnya, walaupun tidak ada petunjuk eksplisit. Kesepakatan perkataan juga mengusulkan adanya suatu sumber yang sama, yang mendasarinya. Penganut Kritik sumber mengusulkan penulis-penulis menggunakan suatu sumber yang sama, yang mereka ikuti tetapi mereka merasa, mereka memiliki kebebasan untuk menambah rincian dan “tidak khawatir akan ketepatan dalam rincian historis.” Problem dari kritik sumber ini ada dua segi: kritik ini cendrung mengabaikan unsur ilahi dalam inspirasi dan mengakui adanya salah; kritik ini dibangun atas hubungan tanpa adanya bukti yang bisa diperlihatkan dari sumber-sumber yang mendasari semua itu.[26]

 

3.      Kritik Bentuk

 

Kritik bentuk tidak terlepas dari kritik Wellhausen terhadap Perjanjian Baru, ia menge-mukakan (1) Sumber asli dari bahan-bahan yang ada didalam Injil adalah tradisi lisan yang beredar dalam unit-unit terkecil (2) Bahan-bahan asli tersebut sudah digabung dan diedit dalam berbagai cara, langkah atau tingkatan (hanya satu bagian saja yang dilakukan oleh penulis Injil PB itu sendiri (3) Bahan-bahan yang ada di dalam tradisi itu memberikan informasi kepada kita tentang kepercayaan dan situasi gereja mula-mula dan pelayanan Yesus.

            Kritik ini akhirnya dikembangkan oleh Bultman, ia menganggap bahwa Injil sinoptik sebagai “literatur rakyat.” Mereka menyimpulkan bahwa Injil-injil sekarang ini bukanlah merupakan karya yang utuh sejak semula, melainkan adalah kumpulan materi atau bahan yang akhirnya dipilih atau disusun oleh para penulis injil PB. Mereka umumnya memeluk bahwa buku Injil yang tertua adalah Markus. Markus menulis satu karya tulis berbentuk “Injil”, dikemudian hari Matius dan Lukas mengikuti dan menggunakan bahan yang ada didalam injil Markus.

            Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa bahan-bahan yang kita miliki sekarang didalam kitab-kitab Injil, sebenarnya mempunyai sejarah penggunaannya dalam gereja, yang dipelihara dan diwariskan dalam bentuk tradisi lisan. Bahan-bahan itu digunakan didalam gereja secara sendiri-sendiri atau terpisah-pisah, sesuai dengan fungsi atau penggunaannya masing-masing dalam kehidupan dan ibadah gereja. Masing-masing tradisi dapat dianalisa secara sendiri-sendiri. Setiap bentuk  digunakan untuk tujuan tertentu pula sesuai dengan situasi konkrit dalam kehidupan gereja mula-mula. Oleh sebab itu maka disimpulkan bahwa kebanyakan Injil-Injil itu tidak berisi data historis tetapi bumbu gereja mula-mula. Sebab jika dianalisa maka ternyata bentuk dan bahan-bahan yang ada dan dipelihara dalam gereja mula-mula itu sudah dipengaruhi oleh iman teologia gereja sesuai dengan situasi dan keadaan kehidupan gereja waktu itu.[27]

 

4.      Kritik Redaksi

 

      Kritik Redaksi berkembang setelah sesudah dan berdasarkan kritik bentuk. Selain itu kritik redaksi, yang memberi perhatian kepada seluruh Alkitab, juga menyiapkan sarana bagi lahirnya kritik naratif. 

Terlihat jelas bahwa kritik redaksi menem-patkan penulis Injil bukan hanya sejarahwan menurut mereka tetapi juga menjadi seorang teolog dalam memodifikasi dan membumbui tradisi historis. Penulis dapat kreatif, menambah dan membumbui tradisi historis bahkan dapat keluar dari peristiwa historis. Penganut Kritik redaksi menyebutkan beberapa cara kerja penulis Injil sebagai redaktur yaitu: (1) Mengaitkan bahan-bahan tertentu satu dengan yang lain (2) Menambahkan catatannya sendiri pada bahan tradisional (3) menyususn ceritanya dalam urutan tertentu (4) menanggapi atau menafsir bahan tradisional. Didalam penelitian redaksi ini, para peneliti seringkali memberi perhatian besar pada kekhususan kitab-kitab tersebut, seakan-akan tidak ada kesamaan sama sekali dalam hal isi dan amanatnya.

 

V. Kesimpulan

 

            Selama berabad-abad hampir tidak ada keraguan tentang keberadaan Alkitab sebagai firman Allah, baik dari kalangan Yahudi maupun bapa-bapa gereja. Mereka menerima otoritas Alkitab sebagai wahyu Allah dan tidak pernah mempersoalkan masalah kepenulisan kitab-kitab dalam Alkitab. Dan hal tersebut sangat nyata dan jelas, maka dari itu menjadi menjadi sebuah pertanyaan, apa yang mendasari pemikiran mereka sehingga mereka begi-tu gigih untuk menyelidiki Alkitab dan meragukan konsep yang sudah tertanam selama berabad-abad? Apa yang membuat mereka merumuskan konsep yang baru dan justru sangat bertentangan dengan pendangan yang sudah begitu mapan? Berikut ini adalah merupakan poin-poin yang melatar belakangi pandangan Higher Criticism. menjadi dasar pikiran mereka?

 

1.      Prinsip-Prinsip Dasar Higher Criticism

 

Adanya kemiripan sastra yang ada dalam literatur daerah Timur Dekat, membuat para kritikus menerapkan prinsip-prinsip penyelidikan sejarah kesusastraan timur kuno kepada Perjanjian Lama. Setidaknya ada 3 prinsip dasar yang mereka terapkan:[28]

a.      Menerapkan pendekatan harmonis atas Alkitab seperti karya kuno lainnya.

 

Untuk menentukan historisitas suatu dokumen kuno, “para sarjana sejarah dan kesusastraan tetap mengikuti dictum atau ucapan Aristoteles, bahwa fungsi prasangka harus diberikan kepada dokumen itu sendiri. Dan para kritikus menekankan pentingnya telaah ini diterapkan ke dalam Alkitab, dan mereka menyebut ini sebagai metode harmonisasi.

 

b.      Melatih Berpikir Terbuka

 

Konsep rasionalisasi yang dipegang teguh oleh para kritikus, menyebabkan mereka sangat bero-rientasi kepada fakta, dan akan mengubah pemikiran mereka jika ada fakta baru yang ditemukan. Mereka siap untuk mengubah teori jika teori ini tidak mencerminkan seluruh fakta secara memuaskan.

 

c.       Menerima Pengaruh-pengaruh Luar yang obyektif

 

Para kritikus mengemukakan konsep pendekatan terhadap Alkitab dengan menggunakan kriteria este-tika, dan kriteria sastra zaman modern, dan mene-rapkan ukuran-ukuran masyarakat timur terutama bangsa Israel. Dan prioritas mereka arahkan kepada data yang obyektif tetapi dari luar Alkitab. Namun pada kenyataannya bukti-bukti Arkeologi sekarang ini justru banyak diabaikan oleh para kritikus ini.

 

2.      Pandangan yang Anti Supranatural

 

Satu pemikiran penting yang harus dilihat dari penganut Higher Criticism adalah pemahaman terhadap hal-hal supranatural. Keraguan terhadap hal-hal supranatural terutama hal-hal mujijat ini terutama dipengaruhi oleh konsep rasionalis. Dengan satu kalimat bisa dikatakan, bahwa formula kekuatan dari Higher Criticism digerakkan oleh kekuatan rasionalisme, dan tokoh-tokoh yang bergerak didalamnya merupakan orang-orang, yang lebih menjunjung tinggi konsep filsafat yang jelas bertentangan dengan firman Tuhan.

Para kritikus berpendapat bahwa segala sesuatu harus diselaraskan dengan  hal-hal yang alamiah dan disesuaikan dengan kursus ilmu pengetahuan alam.         

  

3.      Praduga-Praduga Higher Criticism

 

Salah satu alasan yang mendasari kebanyakan metodologi Higher Criticism adalah beberapa bebe-rapa praduga. Kritikus ini bukanlah orang yang kurang dalam hal kecakapan, keilmuan dan sebagai-nya. Persoalannya bukan karena mereka kurang mengetahu bukti, melainkan karena tafsiran dan pendekatan mereka terhadap Alkitab didasarkan pada pandangan hidup mereka.

Pembahasan pada tingkat praduga, akan me-nunjukkan apakah orang pantas untuk sampai pada satu kesimpulan yang logis. Jika orang berdasarkan bukti yang diketahui memiliki praduga-praduga yang masuk akal, maka kesimpulan-kesimpulan logikanya akan benar. Namun jika praduga-praduganya salah, maka kesimpulan-kesimpulan logikanya hanya akan memperbesar kekeliruan-kekeliruan awal sementara argumen dikembang-kan.[29]

            Salah satu kebutuhan pokok satu studi adalah menyelaraskan praduga-praduga dengan data obyektif yang tersedia. Persoalan yang berkaitan dengan kelompok Higher Criticism ialah,”Apa yang menjadi praduga-praduga mereka, dan apakah itu mungkin?”

 

a.      Lebih Mementingkan Analisis Sumber

 

Kelemahan utama kelompok ini adalah tentang analisis mereka dan kesimpulan tentang dokumen-dokumen dugaan hanya didasarkan teori-teori subyektif mereka tentang isi Alkitab dan pada kemungkinan perkembangan dan proses kompilasi berbagai sumber yang juga masih bersifat dugaan. Sedikit sekali mereka mengacu kepada informasi yang lebih obyektif dan dapat dibuktikan sebagaimana yang disediakan oleh arkeologi. Sikap yang mengandalkan metodologi yang subyektif seperti itu sebagai sumber analisis dikritik oleh banyak sarjana.

 

b.      Mengaplikasikan teori evolusi ke dalam Alkitab

 

Pemikiran lain yang sangat berpengaruh dalam konsep kritikus Alkitab adalah penekanan terhadap teori evolusi yang diaplikasikan dalam menjelaskan  kebenaran Alkitab.Konsep pemahaman evoluisoner tentang sejarah dan pandangan antroposentris ten-tang agama menonjol pada abad kesembilan belas. Konsep filsafat Hegel sangat mempengaruhi studi tentang  Akitab. Para kritikus Alkitab tampil me-mandang agama sama sekali terlepas dari intervensi kekuatan ilahi manapun dan menjelaskannya sebagai suatu perkembangan alam berdasarkan kebutuhan subyektif manusia. Bahwa keseluruhan praduga, yaitu pandangan evolusi kedalam konsep penafsiran Alkitab penting bagi Higher Criticism. Seiring juga dengan konsep tentang sikap anti supranatural, maka mereka juga tidak mengakui pernyataan langsung dari Allah, atau Alkitab adalah wahyu dari Allah. 

 

5.       “Historie” dan “Geschichte”

 

Istilah historie dan Geschicte dalam bahasa Jerman adalah konsep yang digunakan oleh para kritikus didalam diskusi-diskusi tentang sejarah Alkitab, dan keduanya dibedakan. Historie dikata-kan sebagai “laporan lugas tentang sebenarnya terjadi.” Ini adalah laporan tentang fakta masa lalu, mengenai apa yang umu dan bisa dijelaskan menurut kanon studi modern. Geschichte adalah ‘laporan tentang peristiwa-peristiwa masa lalu dilihat dari arti pentingnya pada masa kini.” Ia berbicara terlalu jauh atau mengabaikan (bahkan menyangkali) hal-hal factual. Dalam hal kisah Alkitab, istilah ini berkaitan dengan apa yang dipercayai terjadi pada kisah tersebut, bukan pada apa yang mungkin sebenarnya terjadi.

 

6.      Kesimpulan

 

Pengaruh yang ditimbulkan ditimbulkan oleh metode-metode kritik ini sangat besar bagi perkem-bangan studi biblika. Teks Alkitab dalam bentuk terakhirnya (kanon) dibongkar-bongkar, dipotong-potong dan dipisah-pisahkan sebagai unit-unit bahasa atau sastra yang berdiri sendiri berdasarkan konteks sejarahnya masing-masing. Cara dan hasil kerja yang dibangun semakin menjauhkan Alkitab dari kehidupan konkrit umat yang beriman dan otoritas Alkitab semakin dipurukkan oleh sebagian teolog yang mengaku profesional.

Kalau dilihat secara seksama maka, masalah utama dari kelompok Higher Criticism ini adalah adalah mereka tidak percaya bahwa Allah sendiri merupakan author dari Alkitab, sehingga menolak banyak hal yang bersifat supranatural yang terdapat dalam Alkitab, sekalipun hal itu sangat meyakinkan. Pemikiran ini didasari oleh asumsi dasar mereka yang menekankan rasio di atas segala-galanya, serta menempatkan konsep evolusi didalam pemikiran mereka untuk melihat segala sesuatu. Jadi sejauh apapun bukti yang disodorkan untuk mematahkan kesimpulan mereka terhadap Alkitab, mereka tetap tidak akan mengerti, kecuali mereka harus lebih dahulu menyerahkan hati mereka kepada Allah.

 

 



[1] Josh McDowell, Apologetika: Volume 2 (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2003), hal. 95.

[2] Ibid.

[3] Herlianto, Yesus Sejarah: Siapakah Aku Ini ( Bandung: Yabina, 1997), hal. 105.

[4] Josh McDowell, Op. Cit., hal. 96.

[5] R.K. Harrison, An Introduction to the Old Testament, hal. 4-5, dikutip oleh Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1998), hal. 79.

[6] Ibid

[7] Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1998), hal. 79.

 

[8] R.K. Harrison, An Introduction to the Old Testament, hal. 60, dikutip oleh Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1998), hal. 82.

 

[9] Archer, Survey, hal. 84, dikutip oleh Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1998), hal. 82.

 

[10] Carpenter, Pentateukh”  hal. 744-45, dikutip oleh Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1998), hal. 82-83.

 

[11] Tucker, Form Criticism, hal. 19, dikutip oleh Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1998), hal. 93.

 

[12] Martin North, Uberlieferungsgeschichte des Pentateuch (Stuttgart; W. Kohlhammer,1948), dikutip oleh Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1998), hal. 94.

 

[13] Ibid

[14] James Muilenburg, “Form and Criticism Beyod,” JBL 88 (1969), 1-18, dikutip oleh Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1998), hal. 95.

 

[15]  Allis, Isaiah, p. 47, dikutip oleh Frank E. Gaebelein, The expositor’s Bible Commentary: Volume 6 (Grand Rapids : Regency reference Library, 1984), hal. 7.

[16] R.E. Clement, The Unity of  the Book of Isaiah, hal. 117, dikutip oleh Geoffrey W. Grogan, The Expositor’s Bible Commentary:Isaiah (Grand Rapids: Regency, 1986), hal. 8.

[17] B.S. child, Introductin to the Old Testament as Scripture (London: SCM, 1979), hal.311-38.

[18] Ibid

[19] W.M. Brownlee, The Meaning of the Qumran Scroll for the Bible, hal. 247-59, dikutip oleh Geoffrey W. Grogan, The Expositor’s Bible Commentary:Isaiah (Grand Rapids: Regency, 1986), hal. 8.

 

[20] W.S. Lasor, dkk, Pengantar Perjanjian Lama 2 (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2004), hal. 262.

 

[21] Ibid.

[22] Ibid, hal. 263.

[23] Ibid.

[24] S.O. Aitonam, “Pengantar Keragaman Metoda Tafsir  Forum Biblika; Jurnal Ilmiah Populer, diedit oleh M.K. Sembiring (Jakarta: LAI,1998),hal. 8.

[25] Martin Harun, “Penelitian SumberForum Biblika; Jurnal Ilmiah Populer, diedit oleh M.K. Sembiring (Jakarta: LAI,1998),hal. 12.

 

[26] Paul Ens, The Moody Handbook of Theology (Malang: Literatur SAAT, 2003),hal.94.

[27] R. Rajagukguk, “Apa Itu  Penelitian Bentuk” Forum Biblika; Jurnal Ilmiah Populer, diedit oleh M.K. Sembiring (Jakarta: LAI,1998),hal. 33

.

 

[28] Josh McDowell, Op.Cit., hal. 38-39.

[28] Ibid.

 

[29] Josh McDowell, Op.Cit., hal. 126.