Come Back

PLURALISME DAN KRITIK TERHADAP ALKITAB

 

Oleh: Wisma Pandia, S.Th., Th.M.

 

Pendahuluan

Ditengah-tengah kemajemukan masyarakat dunia ini, maka kita tidak bisa memungkiri adanya perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Kera-gaman dan perbedaan-perbedaan itulah yang kita sebut dengan istilah pluralisme. Sebagaimana juga agama yang merupakan bagian yang penting dalam masyarakat, bahkan tiap-tiap individu mempunyai fenomena pluralitas yang pengaruhnya didalam masyarakat mempunyai dampak yang sangat besar bagi pemikiran tiap-tiap individu. Perbedaan ma-sing-masing agama dan klaim-klaim kebenaran serta kemutlakan tiap-tiap agama sering menimbulkan gesekan-gesekan yang cukup keras dalam masya-rakat. Bahkan tidak jarang banyak orang menilai dan menjadikan agama sebagai alat kekerasan.

Seiring dengan hal itu serta ditambah dengan perubahan paradigma pemikiran tokoh-tokoh agama dunia, yang disertai dengan semboyan toleransi agama yang lebih luas dan tema perdamaian dunia, maka para tokoh dan pemikir agama berusaha untuk mengadakan dialog-dialog, untuk merumuskan pan-dangan toleransi agama yang lebih luas.

Namun pada akhirnya akibat dari pemikiran yang liberal dan kekacauan paham tentang kebe-naran membuat dialog tentang toleransi agama yang lebih luas tersebut merubah esensi dan hakekat masing-masing agama bahkan agama Kristen sendi-ri. Wujud toleransi yang lebih luas itu akhirnya melahirkan suatu pandangan baru yaitu bahwa di-dalam setiap agama masing-masing ada kebenaran. Tidak ada agama yang mutlak benar, yang paling mungkin adalah relatif. Sehingga dapat dikatakan bahwa sesungguhnya semua agama sama; jalannya yang berbeda tetapi memimpin kepada tujuan yang sama. Frithjof Shcuon mengemukakan bahwa semua agama pada dasarnya atau pada hakekatnya (secara esoteris) sama, dan hanya berbeda didalam bentuk-nya saja (secara eksoteris).[1] Sehingga pemikiran tersebut membuat beberapa teolog Kristen yang tidak lahir baru kembali merumuskan paham agama Kristen baru yang disebut dengan kaum Pluralis atau Pluralisme. Buku yang berjudul "Mitos Keunikan Agama Kristen" merupakan salah satu buku yang menjadi kesimpulan pandangan dan pemikiran kaum Pluralis ini.

Dengan demikian Pluralisme kekristenan merupakan tantangan dan ancaman yang sangat serius terhadap kekristenan yang alkitabiah. Plural-isme merupakan konsep filosofi agama yang jauh dari kebenaran Alkitab. Perubahan paradigma pemi-kiran dunia, semangat globalisasi, kemajuan tekno-logi, arus liberalisasi, keadaan sosio budaya dan kemajemukannya adalah hal-hal yang membuat Pluralisme berkembang dengan pesat dan mulai diterima secara luas oleh masyarakat dunia. Peno-lakan terhadap eksklusifisme agama Kristen, Alkitab sebagai satu-satunya firman Allah, keunikan Kris-tus, karya penebusan Kristus, konsep Tritunggal membuat mereka tidak kalah bahayanya dengan gerakan Liberal, gerakan Zaman Baru dan berbagai bidat Kristen lainnya.

I. Konsep Bibliologi dalam Pluralisme

Dasar berpijak kaum Pluralisme dalam hal doktrin bibliologi merupakan suatu paham yang mereka anut dari kelompok Liberal. Teolog Liberal dalam perkembangan teologinya berusaha membe-baskan manusia Kristen dari pemikiran yang berbau imani dan tradisi serta mencoba mengikuti pola manusia modern yang dianggap telah lahir baru dan mampu menggunakan rasionya dalam penelitian Alkitab. Dalam penafsiran terhadap Alkitab akhir-nya membuat mereka bukan semakin menjunjung tinggi Alkitab tetapi malah mengadakan kritik kedalamnya. Akhirnya muncullah kritik historis terhadap Alkitab yang bermula dari usaha para penafsir untuk mengerti kondisi sejarah penulisan kitab - kitab. Namun pengaruh filsafat mengen-dalikan penelitian tersebut sehingga mengabaikan unsur religius dan supranatural. Dari kritik historis ini, lahirlah teori dua sumber atas kritik Pentateukh oleh Jean Astruc dan J.G Erichorn, dengan mengemukakan teori dua sumber J ( Jehovah ) dan E ( Elohim ). Teori ini mencapai kejayaannya melalui K.H. Graf dan Julius Wellhausen.

Dalam penelitian selanjutnya maka kritik historis berkembang pesat sehingga menjadi beberapa bentuk kritik, yaitu kritik bentuk, yang mencoba meneliti bentuk - bentuk tradisi oral sebelum menjadi tulisan; kritik tradisi yang menye-lidiki bagaimana tradisi lama berkembang ke dalam situasi baru pada saat penulisan ; kritik redaksi yang menyelidiki bagaimana tradisi yang berkembang itu diolah oleh redaktur dalam bentuk tulisan; kritik teks, yang menyelidiki bermacam - macam teks yang digunakan sebagai sumber penerjemahan Alkitab dan kritik kanon yang menyelidiki bagaimana proses berkumpulnya kitab - kitab dan ukuran pengumpulan menjadi Alkitab Perjanjian Lama dan Baru. Kritik - kritik Alkitab ini dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu kritik historis, bentuk dan tradisi adalah tergolong kritik yang lebih tinggi (Higher Criticism), sedangkan kritik teks, kritik kaum tergolong kritik lebih rendah (Lower Criticism). Kitab Perjanjian Baru pun tidak diabaikan oleh para ahli historis kritis untuk dikritik dengan menggunakan metode kritik historis yang sama. Masalah yang paling banyak disoroti ialah keempat injil, kehidupan Yesus dan tulisan - tulisan Rasul Paulus. Banyak ahli dengan menggunakan kritik sumber menganggap bahwa sulit untuk memadukan cerita kehidupan Yesus dari keempat injil itu. Misalnya David F Strauss dalam bukunya "Life of Jesus", Adolf Harnack dalam bukunya "What is Chiristianity?". Ia melihat Yesus hanya sebagai manusia biasa yang bermoral tinggi, dan dalam bukunya "In his Sayings of Jesus" merekontruksi teks dari sumber Q, Albert Ritschel memandang Yesus hanya dalam aspek manfaatnya bagi manusia dan etika moral, juga menekankan natur kemanusiaan Yesus, sambil membuang natur keIlahianNya yang supranatural,dan memuncak pada tulisan " The Quest of the Historical Jesus ", karya Albert Schweltzer. Tulisan - tulisan inilah yang akhirnya semakin berkembang dan menjadi dasar berpijak dari doktrin bibliologi kaum Pluralis.

 

A. Penolakan Terhadap Inspirasi dan Wahyu Khusus Allah

Dalam pandangan kaum Pluralis, kaum eksklusif terutama kelompok Fundamentalisme belum mempertimbangkan dengan teliti keabsahaan agama-agama lain, bahkan belum meneliti dengan serius mengenai klaimnya sendiri tentang finalitas Yesus. Menurut mereka bahwa para ahli kitab sendiri pun tidak mengabsolutkan Alkitab, oleh karena itu tidaklah benar apabila kekristenan meng-absolutkan agama dan kebenarannya. Kemudian, di dalam preposisinya pun kaum Pluralis menolak teologi yang tradisional dan orthodoks. Mereka menuduh bahwa kekristenan yang tradisional dan orthodok, telah menjadi tradisi barat dalam manifestasi historisnya dan telah mendemons-trasikan sikap yang agresif superior, kolonial dan imperialistik. Mereka juga menolak klaim teologi tradisional mengenai pernyataan Khusus Allah didalam dan melalui Tuhan Yesus, juga menolak keselamatan yang berpusat pada pribadi Kristus, yang bermuara hanya kepada orang Kristen saja.

1.      Penolakan terhadap Inspirasi Alkitab

Penolakan Pluralisme terhadap finalitas Yesus adalah bertolak dari hasil studi kritik Alkitab para teolog historis kritis, yang menghasilkan kesimpulan - kesimpulan yang sifatnya mengoreksi Alkitab, dan yang menyatakan bahwa Alkitab bukanlah firman Allah, tulisan Injil - injil bukanlah laporan tentang Yesus yang historis, melainkan Yesus yang imani. Artinya para penulis Injil tidak menulis Yesus yang sesungguhnya, Yesus yang historis, Yesus yang benar - benar pernah ada, melainkan mereka menulis Yesus berdasarkan apa yang mereka tangkap dengan iman, dan yang dipikirkan, serta dirumuskan menjadi tulisan Injil. Mereka mempersoalkan mengenai peristiwa Yesus dengan waktu penulisan yang bagi mereka tidak mungkin dijembatani. Karena ada kurang lebih lima belas atau dua puluhan tahun antara peristiwa Yesus dan waktu penulisan. Bagi mereka adalah mustahil bagi murid - murid mengingat apa yang mereka dengar dan mereka lihat langsung dari Yesus. Jadi antara peristiwa Yesus dan waktu penulisan ada diskontinuitas. Para penulis Injil menulis hanya berdasarkan berita - berita yang mereka kumpulkan dan berdasarkan iman mereka, dan sangat diragukan otentitas dan historitas kebenaran tersebut. Karena itu tulisan - tulisan Injil adalah berisi mitos -mitos dari para penuilis Injil. Oleh sebab itu mereka menganjurkan dalam penafsiran Alkitab, para penaf-sir harus menyingkirkan mitos -mitos, khususnya berkenaan dengan hal - hal yang tidak masuk akal yang dilakukan dan dikatakan Yesus.

Kaum liberal dengan asumsi dasar dari kritik bentuknya yang menyatakan bahwa Injil - injil tidak dapat diterima sebagi laporan historis tentang masyarakat Kristen mula - mula dan Injil - injil merupakan hasil peredaksian para penulis Injil, karena fakta sejarah Yesus telah diubah menjadi cerita mistis maka mereka menolak penafsiran harafiahnya Fundamentalis. Dari hasil penafsiran tokoh - tokoh Liberal tersebut telah memberikan angin yang segar bagi kaum Pluralis. John Hick dan Knitter misalnya berusaha membuktikan bahwa Tuhan Yesus bukanlah Anak Allah, Mesias, karena pengakuan tersebut tidak keluar dari mulut Tuhan Yesus secara langsung. dan mengapa orang Kristen sekarang ini mengakui bahwa Yesus adalah Anak Allah, Kristus dan pribadi kedua Allah Tritunggal? Mereka menjawabnya dengan menyatakan bahwa orang Kristen mula - mula temasuk para penulis Injil telah menambahkannya karena perkembangan pemikiran dan iman mereka. Jadi hal itu bukanlah Yesus yang sesungguhnya, melainkan mitos para penulis Injil. Sementara itu Song dengan tegas menyatakan bahwa orang Kristen yang sekarang ini, yang menyembah Yesus sebagai Allah adalah hidup dalam penyembahan berhala. Karena Yesus sendiri tidak pernah memahami diriNya sebagai Allah, justru Yesus memberitakan tentang Allah (Bapa), bukan diriNya.[2] Begitu juga dengan Willfred Cantwell Smith, beliau mengatakan bahwa semua ajaran adalah hasil pemikiran manusia, maka itu adalah keliru apabila pikiran manusia memutlakkan hasil karya mereka sendiri, memutlakkan gambaran mereka tentang kekristenan adalah berhala. Lebih jauh ia menambahkan bahwa orang Kristen yang berpikir kekristenan adalah benar, final dan yang menyelamatkan, adalah suatu bentuk penyembahan berhala. Bagi orang Kristen, membayangkan bahwa Allah yang telah mendirikan agama Kristen...lebih daripada Dia yang telah menginspirasikan kepada kita, maka itu adalah berhala.[3] Sama dengan Kaufman yang menyatakan bahwa orang Kristen harus melepaskan semua kalim absolut untuk keutuhan persatuan manusia, karena kita harus mengakui bahwa pandangan-pandangan Alkitab tentang peristiwa-peristiwa, seperti semua pandangan manusia ditentukan oleh kebudayaan.[4]

Pada dasarnya kaum Pluralis dari sikap dan pernyataannya, mereka sama sekali menolak doktrin Inspirasi Alkitab yang verbal planery.Dengan demikian mereka juga menolak finalitas kebenaran Alkitab dan semua yang tercatat didalamnya termasuk finalitas Yesus Kristus.

2.      Penolakan terhadap Wahyu Khusus

Wahyu adalah sebuah pernyataan Allah bagi manusia. Allah yang tidak terbatas memberi bimbingan kepada manusia yang terbatas dengan menyatukan pendapatNya, baik yang menyangkut kehidupan sehari-hari maupun yang bersifat prinsip. Proses pewahyuan ialah proses penyingkapan hal-hal yang tertutup agar manusia dapat mengetahui hal yang tertutup itu dengan jelas. Dalam menyatakan eksistensiNya kepada manusia maka Allah memakai juga dua penyataan yaitu Wahyu Umum dan Wahyu Khusus. Wahyu Umum yaitu wahyu yang bersifat universal artinya yang dapat diakses oleh setiap manusia yaitu alam ciptaan, perjalanan sejarah umat manusia dan hati nurani. Sedangkan wahyu khusus Allah adalah wahyu yang lebih spesifik dari Allah untuk membimbing manusia kepada pengenalan akan Allah dengan lebih mendalam, terutama dengan pernyataan khusus Allah di dalam Kristus Yesus.

Kaum Pluralis juga tidak mengakui adanya pernyataan khusus, bagi mereka semua sejarah adalah sejarah Allah dan sekaligus sejarah kesela-matan. C.S Song melihat bahwa semua sejarah adalah sejarah Allah, karena Allah adalah yang awal dan yang akhir. Lagipula waktu adalah milik Allah, ia beralasan bahwa :

Karena sejarah berlangsung dalam waktu pertama dan terakhir meliputi seluruh seja-rah, sejarah dari permulaan sampai kepada akhirnya, sejarah yang berisi semua bangsa - bangsa termasuk Israel. Semua sejarah adalah sejarah Allah. Sejarah Persia adalah sejarah Allah sebagaimana sejarah Israel, sejarah Timur dari orang-orang yang menyembah berhala, tidak kurang dari pada sejarah Allah di dalam sejarah kekristenan Barat. Tidak ada sejarah, bahkan sejarah Cina atau Vietnam yang berada di luar sejarah Allah. Sejarah ada di dalam Allah. Itu datang dari Allah dan kembali kepada Allah. Allah tidak menentang sejarah tetapi berada di dalam sejarah. Dan inilah Allah yang bekerja dalam sejarah melalui nabi-nabi dan orang - orang bijak, melalui raja-raja dan para petani, melalui kita semua.[5]

Dari pernyataan di atas sangat jelas Song tidak mengakui adanya penyataan khusus ia hanya melihat melalui wahyu umum, manusia sudah memperoleh keselamatan. Pandangan Song diatas juga searah dengan beberapa Pluralis lainnya, diantaranya, Paul F Knitter dan Raimundo Panikkar serta Lesslie Newbigin. Khususnya Knitter, dengan berpedoman pandangan Ernest Troeltsch, ia menolak pernyataan khusus, dengan menyatakan bahwa seperti ahli modern, Troeltsch tidak puas dengan konsep pernyataan bahwa Allah menukikkan diri-Nya dari surga dan ikut campur tangan dalam sejarah pada satu titik yang khusus.[6] Sementara Newbigin yang mengikuti pandangan James Barr menolak adanya pernyataan khusus, sebaliknya hanya mengakui penyataan Allah dalam semua sejarah manusia.[7] Lebih jauh lagi, Panikkar menge-mukakan mengenai penyataan Allah yang ada di semua agama, bahwa Yesus Kristus hanya salah satu penyataan Allah dari sekian banyaknya penyataan Allah yang ada di semua agama.

Penekanan kepada penyataan umum dan sejarah keselamatan umum adalah bentuk penyang-kalan kaum Pluralis terhadap penyatan Allah yang khusus di dalam dan melalui Tuhan Yesus. Sebab dengan pengakuan akan penyatan khusus akan menghalangi mereka dalam membangun teologi agama - agama.

B. Sistem Hermeneutika Kaum Pluralisme

Masalah teologi adalah masalah hermeneu-tik, dan masalah hermeneutik adalah masalah gereja. Sebuah gereja dapat dikategorikan baik/benar atau pun sesat dilihat dari masalah sistem penafsirannya terhadap Alkitab. Persoalan teologi Kristen yang di-serang kelompok Pluralisme juga merupakan masalah hermeneutika. Penafsiran mereka yang salah terhadap Alkitab sangat menentukan posisi dan preposisi mereka.

1.      Kritik Redaksi

Sebagaimana seperti yang sudah dikemuka-kan diatas sebelumnya, bahwa salah satu persoalan Kristologi modern adalah berkenaan dengan per-soalan relasi antara sejarah Yesus dengan persoalan waktu penulisan dan tulisan - tulisan Injil oleh murid-murid Yesus. Para teolog kritik historis berusaha dengan keras menyelidiki latar belakang kitab-kitab Injil. Perbedaan-perbedaan di dalamnya untuk membuktikan bahwa tulisan Injil merupakan tafsir ulang dari para penulis Injil, bahka lebih jauh mereka menyimpulkan bahwa Injil tersebut bukan hanya sekedar tafsir ulang tetapi juga merupakan ungkapan iman penulis dan bukan peristiwa historis. Dengan kata lain bahwa Yesus yang ada di dalam kitab bukanlah Yesus sejarah, tetapi Yesus keeper-cayaan dari para penulis Injil dan orang Kristen pada zaman tersebut. Roy Eckardt dengan penelitiannya mengenai tulisan-tulisan Injil dan Paulus menyim-pulkan bahwa: Pernyataan-pernyatan Kristologis berbenturan dengan apa yang kita ketahui tentang pernyataan-pernyataan sejarah yang dibuat oleh Yesus sejarah ataupun juga tidak berkesinambungan dengan pernyataan-pernyataan sejarah yang muncul belakangan atau belakangan ini atau di dalam beberapa kejadian, memperlihatkan kesinambungan bahasa dan keyakinan.[8]

Setelah memaparkan bukti-bukti dari masing-masing Injil mengenai ketidaksinambungan antara peristiwa Yesus yang historis dengan waktu penulisan Injil-injil tersebut, ia kemudian melan-jutkan peringatan akan pemberhalaan Yesus, dan mengemukakan usulan untuk tugas lebih lanjut berkenaan dengan ketidaksinambungan antara Yesus sejarah dengan Yesus kepercayaan ialah "yang paling banter dapat kita lakukan adalah membuat sejelah mungkin hal-hal yang berkaitan dengan sifat dan kekuatan dari ketidaksinambungan-ketidak-sinambungan itu."[9] Sementara Song yang juga memegang kritik redaksi ini, dalam upayanya menjelaskan transposisi Kristus berpendapat bahwa,"ketidaksinambungan historis tidaklah mutlak perlu dalam pengenalan akan Kristus yang bangkit."[10]

2.      Ketidakrelevanan Injil dengan Konteks Masa Kini

Teolog Srilangka, yakni Wesley Ariarajah berpendapat bahwa laporan yang ada pada kita sekarang ini (Injil sinoptik) hanyalah laporan dari kesadaran di antara para pengikut Yesus... dan cerita-cerita Perjanjian Baru adalah perjuangan untuk menjelaskan makna ini dalam terminologi-terminologi iman mereka sendiri dan dalam batas-batas agama dan kebudayaan mereka.[11] Dengan kata lain, ia berpendapat bahwa kitab Injil sinoptik tidak relevan dengan orang Kristen sekarang ini. Karena itu orang Kristen masa kini, khususnya orang Kristen Asia yang banyak menderita karena kepincangan sosial politik, harus mencari Yesus dengan makna kehadirannya ditengah-tengah persoalan menghadapi penderitaan: kemiskinan, penindasan, ketidak adilan, dan sebagainya.[12] Inilah keprihatinan kaum pluralis yang sangat bersemangat dengan teologi pembebasan ala Amerika Latin yang menjiwai teologi kaum ekumenikal masa kini, yang terus menerus ditumbuh kembangkan oleh kaum Pluralis dengan pembebasan dibidang agama.

3.      Pendekatan Sosiologis - Antropologis dan Psikologis Terhadap Alkitab

Sebagai perkembangan dari bentuk kritik Alkitab, saat ini muncul pendekatan baru dalam penafsiran Alkitab yakni, metode sosial-antropologi terhadap Alkitab. Para peneliti yang menggunakan metode ini berusaha merekontruksi sosial Israel kuno dan kondisi sosial zaman Yesus. Pendekatan seperti ini menyimpulkan bahwa Yesus tidak mengalami perkembangan sosial yang sehat, sehingga ia menjadi pemberontak yang mendirikan sekte baru. Sementara itu pendekatan Antropologis ialah yang mempelajari semua segi kehidupan dan budaya manusia untuk menguji ulang pertanyaan mengenai aslinya manusia. Organisasi sosial, adat istiadat, cerita rakyat dan kepercayaan yang di dalamnya Yesus terhisap. Sehingga menyimpulkan bahwa Yesus benar-benar orang Yahudi untuk menekankan kemanusiaannya dan meniadakan Ke-illahianNya. Pendekatan psikologis yaitu penelitian Alkitab untuk menemukan nilai-nilai psikologis menyangkut tipe dasar manusia takut dan roh kebenaran.

 

4.      Kritik Kanonis

Kaum Injili Konsevatif dan kebanyakan Kristen yang diluar gereja Roma Katolik, mengakui bahwa jumlah kanon adalah enam puluh enam. Namun kaum Pluralis yang memiliki pandangan bahwa kanon merupakan suatu koreksi yang dapat salah dari kitab-kitab yang dapat salah. Karena itu kaum Pluralis tidak hanya mengakui kitab-kitab Alkitab yang kanonis, tetapi juga mengakui beberapa kitab seperti Injil Barnabas dan Thomas. Para pengikut Yesus Seminar yang membangun Injil diatas ucapan-ucapan Yesus, mengakui keabsahan "Injil Thomas" karena banyak memuat ucapan-ucap-an Yesus yang otentik. Sugirtharajah sangat sering menggunakan "Injil Thomas" sebagai referensinya dalam menggunakan teologinya. Seperti untuk mendukung usahanya dalam hal menyuarakan kepada orang Asia untuk mencari Yesus yang sebenarnya, yang dia katakan bahwa Yesus yang kita kenal selama ini adalah Yesus Barat, maka ia menggunakan Injil Thomas sebagai referensinya dengan menulis, "saya mengundang anda untuk melihat sekali lagi kepada kejadian di Kaisarea Filipi, bukan yang dicatat di dalam Injil Markus, tetapi yang diperlukan di dalam Injil Thomas, rasul untuk Asia."[13]

Disamping itu kaum Pluralis mengakui bahwa ada kebenaran di luar Alkitab, karena itu Allah terus menerus berfirman untuk segala zaman dan Alkitab bukan suatu wahyu final. Berdasarkan hal ini Song menyatakan jalan-jalan Allah yang luas, yang ada di luar Yahudi Kristen. Dengan kata lain, Song mengakui adanya kebenaran Allah di luar kebenaran Alkitab. Lebih lanjut Song mengem-bangkan teologinya berdasarkan tradisi yang dinamakan cerita-cerita rakyat dan kemudian men-sinkronisasi tradisi tersebut dengan cerita-cerita Alkitab kemudian melahirkan pernyataan doktrinal. Song memanipulasi banyak ayat-ayat Alkitab untuk memperkuat konsep pluralisnya yang anti skriptu-ral.[14]

5.      Inkarnasi Teks

Pada umumnya, kaum Pluralis sangat tertarik dengan teologi kontekstualisasi. Mereka selalu beru-paya untuk mempertemukan antara teks dan konteks. Oleh sebab itu mereka suka mengurangi dan mema-nipulasi teks demi kepentingan konteks. Song adalah tokoh yang sangat bersemangat menggunakan sistem penafsiran seperti itu. Bagi Song Injil hanya berkuasa untuk mengubah, tetapi juga Injil adalah harus berusaha supaya dapat diterima dalam segala konteks.[15] Dalam hal ini, Injil tunduk atau takluk pada konteks, seperti konteks budaya, agama, sosial politik. Injil disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan konteks tersebut.

 

 

6.      Sistem Penafsiran Kritik Sosial

Teologi kontekstual yang dipahami oleh kaum Pluralis adalah sama dengan teologi situasi-onal. Teologi situasional berakar pada sistem herme-neutika situasional. Titik tolak teologi situasional adalah bertolak dari kenyataan sosial yang banyak memiliki Kristus di dalamnya. Sistem penafsiran ini adalah sistem penafsiran kritik sosial. Para penafsir kritik sosial ini cenderung mengangkat topik -topik khusus berkenaan dengan persoalan sosial dan politik seperti yang ditunjukkan oleh Alkitab. Contohnya ialah penafsiran teks-teks Alkitab ber-kenaan dengan perbudakan, perempuan, kemiskinan, seperti sistem penafsiran teologi pembebasan, dan sistem penafsiran teologi feminis. Sistem Penafsiran ini menempatkan konteks sebagai sumber inspirasi, dan teks hanyalah sebagai pendukung semata. Bagi mereka Alkitab adalah bersyarat secara histories dan budaya, dimana beritanya adalah relatif dan situasi-onal. Lebih jauh lagi, mereka menyatakan bahwa tidak ada kebenaran apabila diluar tindakan konkrit berkenaan dengan pergumulan hidup manusia.

Kaum Pluralis dari Asia seperti CS Song, Shoki Coe dan Kosuke Koyama adalah teolog yang bersemangat dengan sistem penafsiran ini. Song memakai banyak dongeng dan cerita-cerita rakyat dikonfirmasikan dengan Alkitab dan dijadikan rumusan teologi.[16] Dalam membangun teologi trans-posisinya ia juga menggunakan sistem penafsiran ini.Song menganggap lebih mengerti Allah, memberitahukan kepada kita tentang apa yang di-ketahuinya mengenai keadaan hati Allah berkenaan dengan kenyataan sejarah Asia, yaitu ,"sejumlah pelayanan historis dan manusia di Asia mengung-kapkan kepada kita hati Allah yang tersiksa dan turut menderita." Dalam hal ini Song memper-tanyakan mengenai apa yang menjadi kepentingan teologi transposisi di Asia.Yang menarik semua kerja keras teolog Asia pada persoalan sosial yang sangat menggelisahkan dirinya. Karena itu dengan berpedoman pada beberapa contoh teologi transposisi yang menurutnya telah berhasil, seperti teologi hitam,teologi pembebasan dan teologi feminis, maka ia mengajak semua teolog Asia untuk memalingkan mata teologi kepada persoalan-persoalan sosial yang riil dalam konteks Asia.[17]

 

 

 

 

II. Tinjauan Kritis Terhadap Bibliologi Pluralisme

 

Penolakan utama Pluralisme terhadap ke-kristenan adalah masalah Kristologi. Finalitas Yesus adalah sesuatu yang menakutkan bagi kaum Pluralis untuk membangun dasar teologi mereka. Oleh sebab itu mereka berusaha untuk memformasi ulang seluruh doktrin utama kekristenan, untuk meng-hasilkan preposisi dan hermeneutika mereka. Sebab dengan demikian mereka dapat membangun suatu kepercayaan baru, yaitu kepercayaan yang dapat menampung semua agama tersebut.

Sesungguhnya hal tersebut terjadi disebab-kan oleh kesalahan kaum Pluralis dalam memahami Alkitab, kasih Allah yang sesungguhnya serta masa-lah penafsiran yang benar. Faktor ketidaklahirbaruan tokoh-tokohnya merupakan hal yang paling utama juga. Bagian ini akan menjelaskan bagaimana posisi kaum Pluralis yang keliru dalam sistem penaf-sirannya terhadap seluruh kebenaran kekristenan ini. Berikut ini adalah merupakan poin-poin yang gagal dipahami oleh kaum Pluralis.

A. Alkitab Sebagai Satu-satunya Wahyu Allah yang Mutlak.

Jika dilihat dari keseluruhan pandangan plu-ralisme, masalah utama yang paling disorot oleh Pluralisme adalah Kristologi dan Soteriologi. Cara mereka memformasi ulang Kristologi dan Soterio-logi ialah dengan cara operasi, yaitu memotong dan mengangkat keluar untuk di buang, jantung kekristenan yaitu finalitas Yesus Kristus. Yang akhirnya racun Pluralisme tersebut bermuara pada konsep dan praktek misi yang meniadakan arti penginjilan dalam arti pemberitaan Injil kepada orang-orang yang belum percaya, diganti dengan upaya mencari kebenaran Allah melalui persekutuan dengan orang-orang yang tidak beriman. Namun terlepas dari itu sesungguhnya hal yang paling mendasar yang diserang oleh kaum pluralisme adalah Alkitab sebagi dasar semua doktrin. Sebab doktrin-doktirn utama seperti soteriologi, kristologi, ekklesiologi didasarkan kepada Alkitab. Pluralisme tidak percaya bahwa Alkibab adalah satu-satunya firaman Allah yang final, bahwa kebenaran Allah juga terdapat pada agama-agama dan budaya manusia yang lain. Bahwa catatan-catatan Injil adalah mitos dari catatan kepercayaan murid-murid Yesus. Namun dalam pertimbangan tersebut ada beberapa hal yang harus mereka pikirkan.

1.      Alkitab Sebagai Satu-Satunya Firman Allah

Kaum pluralis berasumsi bahwa Allah menyatukan dirinya tidak hanya dalam suatu konteks, yaitu kepada suatu umat tertentu, melainkan kepada semua manusia dalam pelbagai agama yang ada.. Mereka tidak percaya dan tidak mengakui konsep penyatuan Allah secara umum menurut Alkitab, melainkan percaya terhadap penyataan Allah secara umum sifatnya, tanpa terlibat dengan satu konteks historis tertentu. Oleh sebab itu mereka juga mulai menggali "kebenaran" dari agama-agama yang lain. Tetapi kesalahan yang dilihat oleh kaum pluralis adalah studi banding yang dilakukan terhadap agama-agama lain tidak secara keseluruhan melainkan setengah-setengah, meniada-kan kelemahan-kelemahan tetapi menghilangkan perbedaan-perbedaan utama yang signifikan dan juga mencari kesamaan-kesamaan di antara agama-agama. Secara jujur, studi banding terhadap agama-agama harus dilakukan secara benar dan dengan rasio yang benar, sehingga kebenaran yang dihasilkan adalah kebenaran yang murni sifatnya dan justru akan semakin memahami tentang keberadaan Alkitab sebagai satu-satunya firman Allah.

Untuk membuktikan sifat keilahian Alkitab, tidak ada cara lain yang dapat dibenarkan selain cara Circular Reasoning, artinya Alkitab sendirilah yang membuktikan bahwa dirinya benar. Kalau sumber lain yang dipakai untuk membenarkan Alkitab, maka tindakan demikian justru membuktikan bahwa sumber itu (buku itu) lebih benar dari pada Alkitab. Hanya Alkitab sendirilah yang dapat membuktikan dirinya firman dari Allah Pencipta langit dan bumi. Dasar Circular Reasoning yang akan dipakai sebagai dasar ialah bahwa Alkitab adalah firman dari Allah yang Mahabenar, Mahasuci, dan Mahatahu.

2.      Inspirasi Alkitab yang Verbal Plenary

Kaum pluralis melihat Alkitab dengan me-tode historis, sebab dengan metode tersebut mereka menyimpulkan bahwa kitab-kitab dalam Alkitab adalah tidak historis, melainkan teologi dari para penulis kitab yang keabsahannya pasti diragukan. Oleh karena itu teks-teks yang mengemukakan tentang keabsolutan ajaran iman Kristen bukanlah historis, sesungguhnya bukanlah kebenaran Allah, melainkan mitos-mitos dari para penulis kitab, terutama Injil-injil sinoptik. Mereka mempersoalkan mengenai peristiwa Yesus dengan waktu penulisan yang bagi mereka tidak mungkin dijembatani. Karena ada kurang lebih lima belas atau dua puluh tahun antara peristiwa Yesus dan waktu penulisan. Bagi mereka, adalah mustahil untuk murid-murid mengingat apa yang mereka lihat dan dengar langsung dari Yesus. Jadi antara peristiwa Yesus dan waktu penulisan ada diskontinuitas. Para penulis Injil menulis hanya berlandaskan berita-berita yang mereka kumpulkan berdasarkan iman mereka. Dari kesimpulan tersebut jelas bahwa kaum Pluralis tidak percaya bahwa Alkitab adalah wahyu Allah yang diinspirasikan/diilhamkan secara verbal plenary .

a.      Inspirasi / Pengilhaman Alkitab

Arti kata "Inspirasi" berasal dari bahasa Yu-nani "theopneutos" yang secara literal berarti "nafas Allah". Hal tersebut tidak mengacu kepada, "inspirasi manusia" tetapi "inspirasi Allah". Allah menggunakan kepenulisan manusia untuk setiap Firmannya. Orang yang menuliskannya adalah orang yang dipilih oleh Allah dan dibimbing sepenuhnya oleh Roh Kudus untuk menuliskan firmanNya ke dalam tulisan tanpa ada kesalahan sedikitpun (2 Pet. 1-21). Dalam Kis. 1-16 dan Ibrani 10:15-17 mengindikasikan bahwa Roh Allah menguasai dan mendorong orang-orang untuk menulis keenam puluh enam kitab dalam Alkitab. Alkitab diilhami secara penuh dan secara verbal Alkitab mengandung nafas Allah (2 Tim. 3:16). Diilhamkan artinya, "Si penulis Alkitab itu digerakan dan dipimpin oleh Allah sehingga ia dapat menuliskan kebenaran - kebenaran yang mungkin si penulis itu sudah mengetahuinya lebih dahulu tetapi juga mungkin juga ia belum mengetahuinya" (Pardington). Diil-hamkan artinya, "Roh Kudus telah memimpin dan menggerakan hati para penulis Alkitab sehingga apa yang ditulis mereka itu merupakan pernyataan kehendak Allah dan merupakan firman Allah" (Willey). Diilhamkan berarti, "Roh Kudus bekerja di dalam akal budi orang-orang yang menulis Alkitab itu sehingga pikiran mereka dibukukan dan mereka dapat menuliskan kebenaran-kebenaran Alkitab dengan jelas" (Hannah).[18]

Strong sendiri berpendapat, "Bila dikatakan Alkitab diilhamkan oleh Allah itu berarti Tuhan Allah menggerakkan serta memimpin pikiran orang-orang yang menulis Alkitab itu, dengan demikian Alkitab itu adalah suatu undang-undang yang tidak mungkin salah dan wajib dipercayai serta ditaati."[19] Charles Ryrie menulis bahwa definisi dari inspirasi adalah, "Allah mengawasi sedemikian rupa sehingga para penulis Alkitab itu menyusun dan mencatat tanpa kekeliruan pesannya kepada manusia dalam bentuk kata - kata dalam penulisannya. Yang dapat berarti bahwa adanya peluang warni-warni antara hubungan Allah dan penulisnya dan bahan yang beragam, penulisannya senantiasa meliputi penja-gaan agar para penulisnya menulis dengan hati-hati, penulis bukan penulis yang pasif tetapi aktif dalam mengarang, dan tanpa keliru."[20]

Dr. Strouse dalam eksegesis 2 Tim. 3 : 16 mengata-kan, "bahwa segala tulisan yang diilhamkan oleh Allah meliputi Alkitab secara keseluruhan (Roma 9:1), dan karena bentuk kata kerjanya pasif.... maka menghasilkan kata graphe yaitu recepient aksinya, maka kitab suci itu diilhami dan penulisnya."[21] Dapat diindikasikan bahwa yang diinspirasikan dari Allah adalah Alkitab itu sendiri dan penulisnya.

B.B Warfield mengulas 2 Ptr 1:21 menekankan bagian ini dengan baik.

"Didalam pernyataan yang tepat dan penting dalam satu ayat ini ada yang perlu diperhatikan.Yang pertama ialah penyangkalan yang tegas bahwa nubuat - diatas hipotesa ini kita membicarakan Alkitab - berasal dari inisiatif manusia; "Tiada nubuat yang dihasilkan oleh kehendak manusia. Maka terdapat juga pernyataan yang tegas bahwa sumbernya adalah Allah. Dan sebuah anak kalimat yang jelas disisipkan dan sedemikian rupa sehingga yang ditekankan menjadi jelas yaitu bahwa manusia yang berbicara disini bukan dari mereka sendiri tetapi dari Allah : seperti didorong - dengan kata yang sama "diangkat" keatas, dan itulah yang dipakai disini seperti yang dikehendaki Roh Kudus. Demikianlah mereka berbicara di bawah pengaruh yang menentukan dari Roh Kudus, hal - hal yang mereka katakan bukanlah dari mereka sendiri tetapi dari Allah."[22]

Henry C Thiesen mengenai doktrin Alkitab tentang pengilhaman memberikan beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu:[23]

a). Pengilhaman tidak dapat dijelaskan sepenuhnya. Pengilhaman merupakan karya Roh Kudus, namun kita tidak dapat mengetahui dengan tepat bagaimana kuasa Roh Kudus bekerja.

b). Pengilhaman, dalam arti terbatas ini, terbatas pada penulis - penulis Alkitab saja. Kitab - kitab lainnya tidak diilhamkan seperti itu.

c). Pengilhaman pada hakikatnya merupakan tuntunan. Maksudnya, Roh Kudus mengawasi pemilihan bahan yang dipakai serta kata - kata yang akan digunakan dalam menulis suatu kitab.

d). Roh Kudus melindungi para penulis dari berbuat kesalahan serta tidak mencatumkan apa yang tidak harus dicantumkan. Pengilhaman meliputi juga kata - kata yang dipakai, bukan sekedar pikiran dan konsepnya saja.

e. Pengilhaman ini berlaku hanya pada kitab aslinya saja.

b.      Verbal dan Plenary Inspiration

Verbal dan Plenary maksudnya ialah: pengilhaman meliputi kata-kata yang dipakai (verbal). Matius 5:18 mengindikasikan hal tersebut dari perkataan Tuhan Yesus yang menyatakan bahwa satu titik pun dari hukum Taurat tidak akan ditiadakan. Dan pengilhaman itu meliputi keseluruhan Alkitab/menyeluruh, artinya di dalam Alkitab itu tidak ada yang tidak diilhamkan (Plenary ). Dalam 1Kor. 2:13, Paulus menyatakan bahwa Allah datang kepada kita melalui kata - kata, dan Petrus juga mengatakan bahwa "berkata" dalam semua suratnya (2Pet. 3:16). Tentu maksudnya ialah menunjuk kepada surat - surat kiriman Paulus. Ayat - ayat ini juga mengajarkan bahwa kata - kata yang dipakai dalam Alkitab adalah diilhami.

Dr Thiessen melihat bahwa dari teori Verbal Plenary ini adalah sifat Allah serta tuntutan Alkitab sendiri. Dr. Thiessen dalam hal yang berhubungan dengan masalah ini mengutip pernyataan Shedd yang menulis :

"Adalah tidak mungkin bahwa Tuhan akan menyatakan suatu kenyataan atau pengajaran bagi mereka, kemudian sama sekali tidak berusaha supaya kenyataan atau pengajaran tersebut disampaikan dengan benar ... Jauh lebih dapat diterima bila menganggap seseorang nabi atau rasul yang telah menerima kebenaran luhur secara langsung dari Tuhan serta tidak mungkin ditemukan dengan kecerdasan manusia tidak akan dibiarkan sendirian tanpa pengawasan dan tuntutan ketika ia menuliskannya, daripada menganggap bahwa penyampaian amanat dari Allah akan diselubungi dengan khayalan yang berlebihan.

Sementara itu Carl Henry sehubungan dengan doktrin - inspirasi Verbal Plenary menulis; "Alkitab menegaskan bahwa inspirasi diberikan tidak hanya kepada orang - orang yang dipilih saja tetapi juga kepada tulisan - tulisannya".

Dari pernyataan-pernyataan di atas kita dapat melihat bahwa Alkitab adalah firman Allah yang diinspirasikan. Dimana Allah menggunakan manusia untuk mencatatkan firmanNya di bawah pimpinan dan bimbingan Roh Kudus. Pengilhaman itu dilaku-kan terhadap tulisannya dan bukan penulisannya. Meski demikian Allah juga tetap memakai karakter dan gaya setiap penulisnya. Pengilhaman itu meliputi seluruh Alkitab bahkan tiap titik dan kata-katanya seluruhnya dikendalikan oleh Allah karena hal tersebut merupakan nafas dari Allah. Kita juga dapat berkata bahwa Alkitab adalah suara dari Allah yang duduk di atas takhtanya, setiap kata, titik dan huruf diucapkan oleh Allah yang Mahatinggi, sehingga kita atau siapapun tidak boleh menambah atau mengurangi Alkitab, sebab ia adalah Tuhan yang dalam tulisan.

Oleh sebab itu Alkitab membawa serta kewibawaan illahi Allah. Yang mengikat setiap pikiran, kehendak dan hati nurani manusia. Ia juga memiliki sifat tidak mungkin bersalah, hal ini mengacu kepada naskah aslinya/autographa. Ia mengilhami orang-orang tertentu ketika menulis Alkitab dan mencerahkan pikiran orang - orang yang membaca apa yang telah diilhamkan dalam pimpinan Roh Kudus.

Sangat ironis bila kaum Pluralis menganggap bahwa Alkitab adalah sarat dengan mitos dan karangan manusia biasa. Tidak ada dasar yang kokoh dan bukti-bukti sejarah apapun bahwa Alkitab ditulis berdasarkan hasil ingatan dan pernyataan iman semata dari manusia tanpa unsur supranatural di dalamnya.

 

3.      Alkitab yang Inerrancy dan Infallibility

Masalah Alkitab yang Inerrancy dan Infallibility adalah sesuatu yang tidak disukai oleh kaum pluralis. Sebab doktrin ini merupakan doktrin yang sangat menegaskan tentang kebenaran Alkitab. Apakah ‘Inerrancy’ itu? Dan apakah yang dimaksud dengan ‘Infallibility’ itu? ‘Inerrancy’ adalah pandangan bahwa ketika seluruh fakta ditunjukkan, mereka akan menunjukkan bahwa Alkitab di dalam teks aslinya (authographa) adalah benar dan tidak ditemukan kesalahan baik dalam hubungannya dengan doktrin, etika, sosial, kronologi, sejarah, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Sedangkan ‘Infallibility’ berarti tidak ada kemungkinan gagal atau tidak tepat.

Dr. Thomas M.Strouse, seorang tokoh Baptis Fun-damental mendefinisan Inerrancy dan Infallibility sebagai berikut :

"Inerrancy: Literally "Without error;" applied to the Bible indicating it is without historical, scientific, grammatical, numerical, etc. error in the autographa (same as verbal, plenary inspiration). Infalibility : The inability of having error. When applied to the Bible ( and of course the Author), it means that God is unable to be in error in His Word."[24]

Kantzer menjelaskan bahwa, "‘Biblical Inerrancy’ artinya ‘the Bible does not err’, sedangkan Biblical Infallibility’ berarti, ‘the Bible is incapable of error’."

Jadi inerrancy itu menyangkut masalah keberadaan Kitab Suci yang tidak ada kesalahan dalam hal apapun juga, sedangkan infallibility itu menyangkut masalah ketepatan pencatatan kitab suci yang termasuk nubuatan, mujizat dan lain-lain. Dan sebe-narnya antara inerrancy dan infallibility, keduanya tidak bisa saling dipisah - pisahkan.

Pengakuan ‘Biblical Inerrancy’ dan Biblical Infallibility’ adalah doktrin sentral dari Fundamen-talisme dalam keilmuan biblika. Fundamentalisme dan siapapun orangnya yang mengakui dirinya adalah orang Kristen sejati, tidak akan terlepas dari doktrin sentral ini. Iman Fundamental mengakui bahwa Alkitab diinsprasikan Allah secara ‘verbal plenary’. Oleh karena Allah yang menginspirasikan firmanNya adalah Allah yang Mahabenar, maka tidak mungkin Ia membuat kesalahan dalam penu-lisan firmanNya. Ini adalah jaminan bahwa Alkitab tidak ada salah sedikitpun dalam segala hal, karena itu adalah hasil inspirasi Allah yang Mahabenar. Ingat bukan hanya sekedar ‘benar’, tetapi ‘Maha-benar’. Bila memang Alkitab ada salah, maka Alkitab bukanlah hasil inspirasi Allah yang ‘Maha-benar’, melainkan Allah yang ‘masalah’. Floyd H. Barackman, dalam bukunya, "How to Interpret the Bible", berkata, "Firman Allah, Alkitab, adalah inerrant dalam isinya, infallible dalam pengajarannya, dan berotoritas dalam pemberitaan dan perintahnya." Ketidaksalahan Alkitab bersifat ‘mutlak’ (Absolut Inerrancy), bukan ‘terbatas’ (Limited Inerrancy).

 

4.      Sistem Hermeneutika Yang Benar

Sistem hermeneutika sangat memegang peranan dalam kesimpulan yang akan diperoleh oleh seorang teolog dan akan mempengaruhi doktrin yang akan diajarkan olehnya. Kaum pluralis mengembangkan sistem penafsiran yang dikontrol oleh presuposisi teologi dan filsafat dalam melihat Alkitab, yang juga bertumbuh dari penafsiran konteks. Dari keseluruhan sistem penafsiran mereka, berawal dari penolakan untuk melihat Alkitab dengan benar, bukannya dengan menyelidiki kesalahan-kesalahan Alkitab yang dicari-cari dengan mengadakan kritik kedalamnya. Hal-hal yang patut dilihat dalam menafsirkan Alkitab dengan benar, yaitu:

a.      Alkitab Sebagai Satu Kesatuan yang Utuh

Penafsiran kebenaran Alkitab harus konsisten antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Syarat Alkitab menafsirkan Alkitab harus diperhatikan sebab penulis Alkitab adalah Allah sendiri, maka Alkitab itu harus mengandung kesatuan arti dan tidak bertentangan satu dengan yang lainnya, antara satu doktrin dengan doktrin yang lain harus harmonis. Penafsiran yang ingin menghasilkan kesimpulan yang alkitabiah harus memperhatikan kesimpulan-kesimpulan pada topik doktrin yang lain, dan dalam melihat kesatuan Alkitab hal lain yang dipertimbangkan sejenak, keberadaan sejarah biasanya jika benar tidak akan bertentangan dengan kebenaran Alkitab. Kaum Pluralis gagal melihat hal ini dalam pemahaman mereka terhadap teks-teks tertentu, kemudian kritik kanonik serta kritik historis adalah bertentangan dengan sistem penafsiran yang melihat Alkitab sebagai satu kesatuan.

b.      Literal, Grammatikal, Historikal dan Verbal Plenary

Literal mempunyai arti sesuai dengan tulisannya atau sesuai dengan arti katanya yang paling dasar. Kelompok Fundamentalis adalah kelompok yang menafsirkan Alkitab terlebih dahulu memikirkan arti literalnya. Tetapi tidak berarti sama sekali tidak mempertimbangkan aspek kiasannya . Tetapi yang menjadi aturan jempol dalam penafsiran adalah tafsirkan secara literal kalau masih bisa secara literal, kecuali tidak masuk akal secara literal barulah memakai cara alegorikal. Grammatikal artinya sesuai dengan grammar atau tata bahasa yang digunakan seperti tenses, gender, tunggal-jamak, dan setiap unsur yang membentuk bahasa itu, lalu historikal berarti sistem penafsiran dengan memperhatikan sejarah, fakta sejarah Alkitab tentu saja berbeda dengan fakta sejarah masa kini. Penafsiran yang melupakan konteks sejarah akan mengecilkan arti Alkitab.

Verbal berarti bahasa lisan yang diterima oleh penerima asli dan disandingkan dengan literal. Kalau bahasa verbalnya adalah maka tidak boleh ditafsir macam-macam. Verbal literal berarti percaya bahwa Alkitab diilhamkan secara kata perkata.Setiap kata dalam Alkitab mempunyai arti khusus karena itu perlu diadakan studi kata. Plenary maksudnya adalah lengkap, sesuai dengan arti umum kata perkata dan sesuai dengan kaidah tata bahasa.

c.       Dispensasionalisme

Sistem penafsiran dispensasionalisme adalah sistem penafsiran yang melihat perbedaan perlakuan Allah kepada manusia dalam zaman-zaman yang berbeda. Kebanyakan kelompok konservatif menggunakan sistem penafsiran ini. Pendukung dispensasionalisme melihat adanya perubahan signifikan terjadi yang menyebabkan terjadinya perubahan tugas penyelenggaraan anugerah Allah dalam suatu periode waktu. Dengan memakai sistem penafsiran ini, maka seseorang akan melihat ayat-ayat Alkitab atau bagian-bagian Alkitab sesuai dengan zaman dimana kekhususan ini berlalu.

Sistem dispensasi menuntun para penafsir melihat ayat-ayat Alkitab sesuai dengan perkembangan waktunya. Sekalipun masih dalam lingkup satu zaman, katakanlah zaman jemaat lokal yang dimulai sejak Yohanes Pembaptis memberitahukan Injil dan membaptiskan petobat, tetapi harus dapat melihat perkembangan kebenaran yang semakin hari semakin sempurna hingga menjadi sebuah ukuran yang pasti, sistem ini juga adalah cara yang memungkinkan penafsir melihat perkembangan dari sejak pertama kali kebenaran itu disampaikan hingga seorang penafsir akan melihat tahapan-tahapan kebenaran dan perbedaan cara kebenaran itu disajikan pada zaman-zaman yang berbeda.

d.      Wahyu progresif

Ketika seseorang memulai menafsirkan Alkitab, hal pertama yang patut kita ketahui ialah bahwa Alkitab bukanlah sebuah buku yang dijatuhkan bulat-bulat dari langit melainkan ditulis oleh manusia yang dipakai Allah sedikit demi sedikit. Alkitab adalah wahyu Allah kepada manusia yang bersifat progresif. Ia bertumbuh atau bertambah sedikit demi sedikit menjadi banyak atau dari sederhana menjadi sempurna. Setelah sampai Wahyu 22:21 maka wahyu tidak bertambah lagi.

Tujuan dari firman Allah diturunkan adalah agar melaluinya manusia bisa mengenal Allah dan seluruh kebenarannya sebagi seorang anak bertumbuh, maka demikian juga sarana pengenalan Allah itu bertumbuh hingga puncaknya yaitu bertemu muka dengan muka dengan Kristus. Tetapi sarana yang dipakai Allah dari yang sederhana hingga yang paling sempurna itu bertahap, dari undian, mimpi, visi, firman lisan hingga firman tertulis adalah proses perkembangan sarana untuk mengenal Allah, bertemu muka dengan muka yang akan terjadi pada hari pengangkatan.

Proses perkembangan wahyu itu sendiri terlihat jelas dari kitab Kejadian hingga kitab Wahyu. Siapapun yang berusaha menafsirkan Alkitab harus melihat perkembangan wahyu jika ia ingin berhasil menafsirkan Alkitab dengan proporsional. Keseluruhan Alkitab dari Kejadian 1:1 sampai Wahyu 22:21 adalah firman Tuhan yang sudah lengkap dan sempurna, dan karena sifat progresif maka penafsir harus mengerti tentang konteks-konteks Alkitab secara keseluruhan.

e.      Berbagai Konteks lainnya

Selain beberapa hal di atas seorang penafsir juga harus melihat konteks - konteks yang lain seperti bahasa paradoks Alkitab yang menekankan kedaulatan Allah sepenuhnya terhadap seluruh alam semesta, serta tanggung - jawab manusia sepenuhnya atas apa yang dia lakukan. Kemudian memahami berbagai disiplin ilmu theologi yang mencakup eksegesis, biblical theologi, dan sistematika teologi, kemudian memperhatikan konteks yang dimaksud, kualitatif sebuah ayat dan gaya bahasa.

Kaum Pluralis cenderung mengabaikan hal- hal diatas. Kesalahan yang paling fatal dilakukan oleh mereka adalah mengkritik Alkitab, kemudian mendirikan dasar doktrin di atasnya. Adalah sebuah kekonyolan yang luar biasa sebab hal itu dapat disamakan dengan seseorang yang sedang duduk di atas sebuah kursi sambil menggergaji kaki kursi tersebut. Pandangan filsafat lebih ditekankan dalam penafsiran Alkitab sama dengan melihat dan membuat uang palsu untuk memberikan sebuah keaslian bagi uang asli. Itulah sebabnya kaum Pluralis gagal memahami finalitas Kristus dan keselamatan yang ada didalamnya.

 

B. Alkitab dan Yesus Adalah Fakta Nyata dan Bukan Mitos

Kaum Pluralis mengetengahkan bahwa Alkitab bukanlah firman Allah, tulisan-tulisan Injil bukanlah laporan tentang Yesus sebenarnya, melainkan Yesus yang imani, mitos dari para penulis Injil. Praduga ini diawali ketika mereka mempelajari tentang kehidupan Kristus dan membaca tentang mujizat-mujizatNya, sehingga mereka menarik kesimpulan bahwa itu bukanlah mujizat atau kebangkitan, karena kita (pengkritik) tahu (bukan secara historis, melainkan filosofis) bahwa itu adalah sesuatu yang mustahil. Mujizat adalah mustahil, kita hidup dalam sistem yang terbatas, dalam hal adikodrati hal itu tidak ada. Jadi semuanya itu tidak mungkin ada.

Apa yang kaum Pluralis lakukan adalah menyangkut hal-hal supranatural terutama tentang kebangkitan Kristus (beranjak dari hal ini), bahkan sebelum memulai penelitian sejarah tentang hal itu. Pemikiran ini lebih tepat disangka sebagai prasangka filosofi daripada praduga historis. Metode pendekatan sejarah yang mereka lakukan didasari oleh "pikiran yang rasional". Bukannya malah meneliti data-data sejarah secara benar, mereka malah menarik kesimpulan melalui "metafisik" dari rasio mereka yang sempit dibandingkan dengan hikmat Allah yang Mahatinggi. Mereka tidak memahami bahwa sebenarnya iman Kristen adalah iman yang obyektif; oleh karena itu harus ada suatu obyek. Konsep Kristen tentang iman yang menyelamatkan adalah iman yang membangun hubungan seseorang dengan Yesus Kristus, dan sama sekali bertentangan dengan pengertian iman secara "filosofis" kaum pluralis. Demikian juga kebenaran tentang Yesus Kristus dan Alkitab adalah sesuatu yang ada faktanya dan bukan sekedar mitos, yang kebenarannya tidak hanya didukung berdasarkan Alkitab saja, tetapi juga dari orang yang hidup sekontemporer dengan Injil yang hidup di luar Kristus, bahkan dari bukti-bukti arkeologi.

1.      Fakta Kebenaran Dari Para Penulis Alkitab itu Sendiri

Kebenaran yang dikemukakan oleh para penulis Alkitab adalah kebenaran yang paling utama yang dapat diterima daripada kebenaran yang dikemukakan oleh kaum pluralis. Sebab adalah sesuatu yang konyol bila lebih mempercayai kesaksian orang yang hidupnya sangat berbeda jauh dengan zaman dimana Yesus hidup daripada orang yang hidup sekontemporer dengan Yesus dan menjadi saksi hidup itu sendiri. Hal yang lebih masuk akal ialah bahwa mitos itu sendiri adalah "Yesus historisnya" kaum Pluralis dari pada Yesus yang ditulis para penulis Injil. Sebab kaum Pluralis tidak punya fakta-fakta yang nyata dan bukti-bukti, tetapi hanya mengandalkan kebenaran pragmatis, prasangka filosofis dan praduga historis. Kaum Pluralis mengemukakan bahwa sangat sulit untuk mempercayai kebenaran berita tentang kehidupan Yesus yang peristiwanya dengan waktu penulisan ada jarak sekitar 15-20 tahun, akan tetapi akan lebih sulit lagi untuk mempercayai peristiwa atau kebenaran tentang Yesus dimana penelitiannya dilakukan setelah ribuan tahun (itu pun bukan secara faktual), seperti yang dilakukan kaum Pluralis.

Fakta kebenaran Injil adalah nyata, karena penulis PB menulis berdasarkan apa yang dilihatnya sendiri atau mencatat kesaksian yang akurat dari orang-orang yang melihatnya sendiri dan di bawah inspirasi Roh Kudus. 2 Petrus 1:16 mencatat, "sebab kami tidak mengikuti dongeng-dongeng isapan jempol manusia, ketika kami memberitahukan kepadamu kuasa dan kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus sebagai raja tetapi kami adalah saksi mata dari kebesaranNya." Penulis Alkitab pastilah mengetahui perbedaan di antara mitos, legenda, dan kenyataan.

 

a.      Penulis adalah saksi-saksi mata

Lukas 1:1-3; Yohanes 20:30,31; I Yohanes 1:1-3; Kisah Rasul 1:1-3;  Kisah Rasul 1:9; Kisah Rasul 10:39-42; I Korintus 15:6-8; I Petrus 5:1

b.      Pengetahuan dari Tangan Pertama

Dalam Alkitab, fakta mengenai Yesus sering menggugah pengetahuan pribadi para pembaca atau pendengar mereka mengenai fakta atau bukti diri Yesus Kristus. Para penulis bukan hanya mengatakan, "Lihat, kami melihat ini atau kami mendengar itu...," tapi mereka membalikkannya kepada pengritik yang paling getol dengan berkata, "Kalian tahu mengenai semuanya....Kalian juga melihatNya; kalian sendiri juga mengetahuiNya."

- Kisah Rasul 2:22

- Kisah Rasul 26:24-28

2.      Fakta dari Luar Alkitab

Selain dari Alkitab, kebenaran tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya juga dapat ditemukan dari fakta-fakta di luar Alkitab, baik dari orang-orang yang hidup sekontemporer pada zaman itu juga dari penemuan-penemuan arkeologi.

a. Bukti-bukti dari Tokoh yang Hidup pada Abad Pertama

- Yosefus, Antiquites buku ke-18, bab.5, par.2. Ini merupakan suatu rujukan yang menarik tentang Yohanes Pembaptis dan pembunuhannya oleh Herodes Antipas di Makherus.

- Trayanus, Kaisar Romawi (Plinius yang muda, Epistles 10: 97). Ini adalah sebuah surat dari Kaisar kepada Plinius, memintanya untuk tidak menghukum orang-orang Kristen yang dipaksa oleh para pejabat Romawi untuk mengingkari kepercayaan mereka. Dia mengatakan kepada Plinius agar para pejabat Romawi tidak menerima begitu saja informasi yang tidak jelas asal-usulnya tentang orang Kristen.

- Makrobius, Saturnalia, lib. 2 bab 4. Pascal (Pensees 753 dalam edisi Penquin) menyebutkan kutipan tentang Augustus Caesar ini sebagai suatu pengesahan pembantaian bayi di Betlehem.

-- Hadrianus, Kaisar Romawi (Yustinus Martir, The First Apologia, bab 68,69)Yustinus mengutip surat Hadrianus kepada Minicus Fundanus, gubernur Asia Kecil. Surat ini menyangkut tuduhan orang-orang kafir terhadap orang-orang Kristen

- Antonius Pius, Kaisar Romawi (Yustinus Martir, The Firts Apologia, bab 70). Yustinus atau (salah satu muridnya) mengutip surat Antonius kepada Majelis umum Asia Kecil. Surat itu pada intinya mengatakan bahwa para pejabat di Asia Kecil terlalu resah menghadapi orang-orang Kristen di propinsi mereka, dan tidak akan diadakan perubahan terhadap cara penanganan Antonius terhadap orang-orang Kristen di sana.

- Markus Aurelius, Kaisar Romawi(Yustinus Martir, The Firts Apologia, bab 71). Surat dari Kaisar kepada Senat Romawi ini dimasukkan ke dalam naskah oleh murid-murid Yustinus. Kaisar menjelaskan prilaku orang-orang Kristen dalam perang di ketenteraan Romawi.

-Juvenalis, Satires, 1, baris 147-157. Juvenalis membuat suatu pernyataan terselubung tentang penganiayaan orang-orang Kristen oleh Nero di Roma.

- Seneka, Epistulae Morales, Surat ke-14, " On the Reasons for Withdrawing from, par. Seneka, menggambarkan kekejaman Nero dalam menangani orang-orang Kristen.

-Hierocles (Eusebius, The Treatise of Eusebius, bab 2). Kutipan oleh Eusebius ini melestarikan sebagian naskah dari buku Hierocles yang hilang, Philalethes atau Lover of Truth. Dalam kutipan ini, Hierocles mengecam Petrus dan Paulus sebagai tukang sihir.

- Lucianus dari Samosata, Seorang saitiris dari abad ke-2 yang berbicara dengan sinis tentang Kristus dan Kekristenan. Lucianus juga beberapa kali menyinggung tentang orang-orang Kristen dalam bukunya Alexander the False Prophet, unit 25 dan 29.

- Cornelius Tacitus, Seorang sejarawan Roma, pada tahun 112 M, Gubernur Asia, menantu pria Julius Agricola yang menjadi gubernur Brittania pada tahun 80-84 M. Ketika menulis tentang pemerintahan Nero, Tacitus menyinggung tentang kematian Kristus dan keberadaan orang-orang Kristen di Roma. (Annals XV ). Dia menyinggung lebih jauh tentang kekristenan dalam fragmen-fragmen tulisannya Histories, ketika mengupas tentang pembakaran Bait Allah Yerusalem pada tahun 70 M, yang diabadikan oleh Sulcipius Severus.

c.       Bukti- Bukti Arkeologi[25]

Nelson Glueck, arkeolog Yahudi yang tersohor itu menulis: "dapat dipastikan secara mutlak bahwa tidak pernah ada penemuan arkeolog yang bertentangan dengan pernyataan di dalam Alkitab". Dia melanjutkan pernyataannya tentang "catatan sejarah Alkitab yang nyaris tidak dapat dipercaya ketepatannya, terutama bila dikuatkan oleh fakta arkeologi.

Albright menambahkan: "Skeptisme berlebihan yang ditujukan pada Alkitab oleh lembaga-lembaga sejarah penting pada abad ke-18 dan 19, yang gaungnya masih terasa sampai sekarang, telah ditangkis habis-habisan. Penemuan demi penemuan telah menegaskan kebenaran yang tidak terhitung karena banyaknya data, dan memperkuat pengakuan terhadap nilai Alkitab sebagai sumber sejarah".

John Warwick Montgomery mengungkapkan masalah khas di antara para ilmuwan dewasa ini : "Peneliti American Institute of Holy Land Studies, Thomas Drobena memperingatkan bahwa dimana terjadi pertentangan di antara arkeologi dan Alkitab, masalahnya hampir selalu mengenai waktu, masalah yang paling rawan dalam bidang arkeologi dewasa ini dan dimana APRIORI ilmiah serta pemikiran yang bertele-tele sering kali menggantikan analisis empiris yang kokoh".

Profesor H.H Roley (dikutip oleh Donald F.Wiseman dalam Revelation and the Bible) mengaku bahwa "Ilmuwan sekarang lebih menaruh hormat pada tulisan para bapa gereja dari pada para pendahulunya bukan karena mereka mengawali penelitiannya dengan praduga yang lebih konservatif dari pendahulunya, tetapi karena bukti-bukti yang membenarkannya".

Merrill Unger menyatakan: "Peranan arkeologi dalam riset Perjanjian Baru (maupun Perjanjian Lama) dalam memperlancar penelitian ilmiah, mendukung dan menguatkan latar belakang historis dan budaya, menunjukkan suatu titik cerah bagi masa depan kritikan terhadap teks yang kudus".

Miller Burrows dari Yale berpendapat bahwa: "dalam banyak kasus arkeologi telah mematahkan pandangan para peneliti modern. Pada beberapa kesempatan arkeologi menunjukkan bahwa pandangan ini bertumpu pada dugaan yang keliru dan skema perkembangan historis yang tidak benar atau palsu (AS 1938, hlm. 182). Ini adalah suatu sumbangan yang nyata dan tidak boleh dianggap enteng".

F.F.Bruce mengemukakan: "Dimana Lukas dianggap tidak akurat, dan ketepatannya kemudian dibuktikan oleh bukti-bukti tertulis, dapat dikatakan arkeologi telah menegaskan catatan Perjanjian Baru".

F.F Bruce menambahkan bahwa "Sumbangan terbesar arkeologi kepada penelitian Perjanjian Baru adalah pengisian latar belakang zaman, sehingga kita dapat membaca catatan-catatannya dengan penghayatan dan penghargaan yang lebih mendalam. Dan latar belakang ini adalah latar belakang abad pertama. Kisah-kisah Perjanjian Baru sama sekali tidak sesuai untuk diberi latar belakang abad kedua". 14\331

Burrows mengungkapkan tentang penyebab dari ketidak-percayaan yang berlebihan : "Skeptisme berlebihan dari kebanyakan ahli teologi liberal bukan disebabkan oleh penelitian yang seksama terhadap data-data yang ada, tetapi kecendrungan yang besar untuk menolak hal adikodrati".

Arkeolog dari Universitas Yale itu menambahkan: "Bagaimanapun juga, secara keseluruhan, tidak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan arkeolog telah memperkuat keyakinan pada kredibilitas catatan Kitab Suci. Lebih dari satu arkeolog yang mendapatkan bahwa pengalamannya dalam penggalian di Palestina telah menambah rasa hormatnya pada Alkitab".

Secara keseluruhan bukti-bukti yang telah dihasilkan oleh arkeolog sampai sejauh ini, terutama dalam menghadirkan lebih banyak naskah yang lebih tua dari kitab-kitab Alkitab, telah memperkuat keyakinan kita pada ketepatan penyalinan teks itu selama berabad-abad".

Millar Burrows melanjutkan: "Untuk melihat situasinya dengan lebih jelas kita harus membedakan dua jenis penegasan, yaitu yang umum dan yang khusus. Penegasan umum adalah yang menyangkut kesesuaian tanpa bukti-bukti khusus yang menguatkan poin-poin tertentu. Kebanyakan di antara penjelasan dan ilustrasi yang telah dibahas dapat dianggap sebagai penegasan umum. Gambaran situasinya cocok: nada dan suasananya sesuai. Bukti-bukti yang mendukung banyak. Makin banyak kita temukan hal-hal yang menggambarkan masa lalu oleh Alkitab, yang sesuai dengan apa yang kita ketahui dari arkeologi, meskipun tidak membuktikan secara langsung, makin kuatlah keyakinan kita pada keasliannya secara umum. Bila ia hanya merupakan suatu legenda atau fiksi pasti akan segera ketahuan dari anakronisme dan ketidakserasiannya".

III. Kesimpulan

Kaum Pluralis sangat tidak percaya terhadap Alkitab sebagai satu-satunya firman Tuhan yang mutlak dan final.. Mereka berasumsi bahwa Allah menyatakan dirinya tidak hanya dalam konteks historis yaitu kepada satu umat manusia tertentu saja, melainkan kepada semua orang. Mereka menolak klaim-klaim dan pernyataan-pernyataan di dalam Alkitab, hal itu didasarkan oleh pandangan mereka tentang injil yang ditulis. Dengan metode historis kritis mereka meragukan keabsahan Alkitab sebab teks-teks mengemukakan keabsolutan ajaran dan iman Kristen, bukanlah historis, bukanlah sesungguhnya kebenaran Allah melainkan mitos-mitos demi penulis Alkitab. Dengan kata lain, mereka menolak Alkitab sebagai kebenaran final Allah yang tertulis. Itu berarti mereka menolak pegangan utama orang Kristen yaitu Alkitab satu-satunya firman Allah.

Salah satu bentuk penafsiran lain yang dianut adalah system penafsiran kritik social, terutama didasarkan atas teologi pembebasan, dimana mereka memandang Alkitab sebagai referensi yang kedua yang berlangsung dengan konteks masa kini mengenai perjuangan sosial dan praksis masa kini. Pandangan ini didasarkan pada filsafat berpikir, dimana tidak ada pemisahan epistimologis antara pikiran dan tindakan, kebenaran dan pengalaman praktis. Karena itu semua kebenaran teologi harus menjadi teologi yang praktis. Pengetahuan teologis hanya mungkin ada apabila ada partisipasinya dalam tindakan dan refleksi mengenai praksis. Kesalahan sistem penafsiran  ini adalah  lebih melihat kepada kondisi zaman, dan kemudian mencari kaitannya dengan tindakan Allah berkenaan dengan kemanusiaan dan pembebasan manusia dalam proses sejarah yang umum dan dalam situasi khusus.

Kesalahan lain dari para pengkritik ini adalah asumsi dasar mereka yang lebih menekankan unsur rasio manusia dan menerapkan sistem evolusi didalam pikiran mereka.Praduga mereka juga diawali ketika mereka membaca dan mempelajari tentang kehidupan Yesus dan membaca tentang mujijat-mujijatNya, sehingga mereka menarik kesimpulan bahwa itu bukanlah mujijat atau kebangkitan. Bagi mereka mujijat adalah hal yang mustahil, mereka berpikir hidup dalam sistem yang terbatas, sehingga dalam hal adikodrati hal itu tidak ada.

Namun harus ditegaskan bahwa ketika sesorang menerima pendapat kritik ini adalah lebih mustahil dan lebih konyol, sebab merupakan sesuatu hal yang aneh jika lebih mempercayai kesaksian orang yang hidupnya sangat jauh dengan peristiwa Alkitab daripada orang yang menulis Injil yang sekaligus merupakan saksi mata dari peristiwa tersebut. Mereka sulit mempercayai kebenaran peristiwa yang dicatat dengan waktu 15-20 tahun dan ada unsur ilahi dalam pencatatannya, akan tetapi lebih sulit lagi untuk mempercayai peristiwa  atau kejadiannya dimana penelitiannya dilakukan setelah ribuan tahun, yang mengandalkan prasangka filosofi dan praduga historis.

 

 



[1] Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama (Jakarta: Yayasan Obor,1987), hal. X.

 

[2] C.S. Song, Jesus and The Reign of God (Minniapolis: Fortress Press, 1993), hal. 16.

 

[3] Wilfred Cantwell Smith, “Pemberhalaan Dalam Perspektif Perbandingan”, dalam “Mitos Keunikan Agama Kristen”, hal. 97-97

 

[4] John Hick dan Paul F. Knitter, Mitos Keunikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001).

[5] C.S. Song, Op.Cit., hal. 57.

 

[6] Knitter, Op. Cit., hal. 24.

 

[7] Leslie Newbigin, Injil Dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hal. 108.

[8] Roy Eckardt, Menggali Ulang Yesus Sejarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hal.248.

[9] Ibid, hal. 262.

[10] C.S. Song, Op. Cit, 145.

[11] A.A. Yowange, “Menurut Kamu Siapakah Aku Ini?” Orang Asia Mencari Konteks Berteologi di Indonesia, diedit oleh Eka Darmaputra (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hal. 279-280.

[12] Ibid, hal. 281.

[13] R.S. Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003).

[14] C.S. Song, Op. Cit., hal. 35-36.

 

[15] C.S. Song, Op. Cit., hal. 16.

[16] C.S. Song, Op. Cit., hal. x-xi..

 

[17] ibid, hal. 16.

[18] Dikutip dari, “Dasar Yang Teguh,  J.W. Brill (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,1999),hal. 18.

[19] A.H. Strong, Systematic Theology (Valley Forge: Judson Press, 1993).

[20] C.C. Ryrie, Teologia Dasar (Yogyakarta: Yayasan Andi), hal. 94.

[21] Dr. Thomas Strause, Doktrin Yang Benar (Jakarta: Graphe, 1996), hal. 67-68.

[22] B.B. Warfield, The Inspiration and Authority of the Bible (Philadelphi: Presbyterian and Reformed, 1948), hal.136.

[23] Henry C. Thiesen, Teologi Sistematika (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1992), hal. 100.

[24] Thomas M. Strouse, Biblical and Religious Glossary (Virginia: Tabernacle Baptist Theological Press, 1992), hal.15.

[25] Diambil dari buku Josh McDowell, Apologetika (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2002), hal.115-118.