LATAR BELAKANG SEJARAH KRITIK ALKITAB

 Oleh: Dr. Eddy Peter P., Ph.D. 

 

Sang juru bicara pencerahan Prancis, Voltaire, atau yang nama aslinya Francois Marie Arouet (1694-1778) adalah seorang filsuf dengan julukan ‘tawa filosofis’. Mengapa julukan ini diberikan kepadanya? Karena Voltaire menyebarkan gagasan-gagasan filosofinya bukan dengan gaya akademis, namun menggunakan gaya satiris yang penuh rasa humor penuh ejekan. “Dia seorang pejuang universalitas kemanusiaan dan anti-fanatis keagamaan, dan juga anti-metafisika. Dia juga menginginkan sebuah agama Kristen yang sederha-na tanpa ornamen mukjizat, dogma dan ritus. De-ngan mengejek dia mengatakan bahwa Yesus hanyalah ‘Sokrates dari Udik” yang tak punya tilikan filosofis, dan berbagai mukjizat yang dibuatnya hanyalah rekaan para pengikutnya saja.”[i] 

Oleh sebab itu tidak heran jika banyak orang Kristen konservatif menyebut Voltaire sebagai anti-Kristus. Namun apakah yang seharusnya mengejutkan kita dari seorang ‘anti-Kristus’ ini? Sebuah anekdot menceritakan, “Seorang tamu Voltaire keheranan melihat Kitab Suci terletak di atas meja tulisnya. Voltaire pun membela diri: “Jika orang ingin memenangkan pengadilan, sebaiknya ia mengenal tulisan-tulisan lawannya agar siap menghadapinya.”[ii] 

            Injil Matius 4: 1-11 mengisahkan bagaimana iblis mencobai Yesus dengan beberapa pernyataan, “seperti ada tertulis” (4:6). Fakta ini memberitahukan kepada kita bahwa iblis dan para pengikutnya, para ‘anti-Kristus’ juga mempelajari Alkitab dengan tujuan mengkritik dan menunjukkan kepada anak-anak Tuhan bahwa Alkitab tidak memiliki otoritas apa-apa, namun hanya sekedar buku biasa yang sedikit istimewa atau bahkan tidak istimewa sama sekali. 

            Ketahuilah jika semangat orang percaya dalam mempelajari Alkitab dan mempelajari bagaimana metode iblis untuk menyerang Alkitab dan iman Kristen tidak lebih besar dari semangat iblis ‘mencari-cari’ cara menanamkan image bahwa Alkitab penuh dengan dongeng dan kesalahan, maka sudah pasti akan banyak jatuh korban di dalam barisan prajurit Kristus. 

Berdasarkan pemikiran inilah, maka STTI PHILADELPHIA mencoba untuk mengajak sau-dara-saudara seperjuangan dalam Kerajaan Allah untuk mempelajari, mendeteksi cara-cara iblis me-nyerang Alkitab dan bagaimana kita mempertahankan iman kita atas otoritas Kitab Suci. Dan juga, oleh karena inilah STTI PHILADELPHIA menyelenggarakan Seminar dengan tema “Menghadapi Serangan-Serangan Terhadap Alkitab” ini.

 

DUA METODE KRITIK ALKITAB

             Ada dua metode kritik Alkitab yang sudah dikembangkan dan bahkan pada zaman modern ini sudah ditetapkan sebagai cabang ilmu dalam ilmu teologi, yaitu Higher Criticism dan Lower Criticism. Dua cabang ilmu teologi ini kini telah menjadi suatu bidang mata kuliah kusus pada kurikulum pendi-dikan tinggi teologi di sekolah-sekolah teologi seluruh dunia. Di kalangan sekolah teologi Injili Konservatif menjadikan dua cabang ilmu teologi biblika ini sebagai metode terbaik untuk menemu-kan ‘kebenaran’ atau ‘keorisinilan’ berita Alkitab, namun di kalangan sekolah teologi Liberal, dua cabang ilmu teologi ini dipelajari untuk dikritik, atau dijadikan dasar untuk menyerang Alkitab. STTIP adalah salah satu STT di Indonesia yang menjadikan dua cabang ilmu teologi ini sebagai mata kuliah yang harus diambil dan syarat kelulusan. Sistem pembelajaran di STTIP untuk dua cabang teologi ini dipelajari dari sudut Injili Konservatif.

             Higher Criticism atau kritik tinggi Alkitab adalah  terminologi akademis, yang digunakan sebagai istilah teknis teologi. Istilah ini tidak menun-jukkan bahwa kritik tinggi berarti superioritas, namun istilah yang dipakai sebagai kontras dari frase “Lower Criticism’.  Di kalangan sarjana teologi Higher Criticism dikenal juga sebagai kritikisme sejarah (historical/ tradition criticism) dan kritikisme sastra (literary criticism), yaitu suatu cabang teologi yang berusaha menyelediki asal-usul Alkitab, siapakah penulis Alkitab (misalnya: benar-kah Musa penulis Kitab Pentetaukh dsb.), dan bagaimana sejarah perkembangan keagamaan P.L. dan P.B. 

            Para sarjana teologi liberal menyangkal bahwa 5 (lima) Kitab Musa ditulis oleh Musa. Dengan menerapkan teori Higher Criticism yang dikenal dengan istilah Documentary Hypothesis mereka menjelaskan bahwa Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan bukanlah tulisan musa, namu merupakan kumpulan sastra atau dongeng dan mitos yang kemudian disusun menjadi kelima Kitab Musa di atas. Mengenai penulis aslinya mereka berpendapat ‘anonim’.[iii] Begitu juga penulis Kitab Yesaya pasal 40-66, juga tidak ditulis oleh Yesaya, tetapi ditulis oleh penulis ‘anonim’ yang diperkirakan seorang nabi sebesar Yesaya. Apa yang menyebabkan pemikiran demikian? Karena mereka tidak percaya tentang mukjizat dan nubuatan. Mereka heran bagaimana mungkin Yesaya 45 dapat berbicara tentang Korezy pada saat ayah Korezy saja mungkin belum lahir. 

            Kritik mereka terhadap Kitab Perjanjian Baru dengan gencar ditujukan terhadap Injil Synop-tik (Matius, Markus, Lukas). Dengan menempatkan Injil Markus sebagai Injil pertama, mereka membuat suatu hipotesis (oral tradition transmission, teori dua dokumen, dan teori empat dokumen) bahwa Markus mengembangkan Injilnya dari cerita-cerita rakyat dan dokumen ‘Q’ yang akhirnya dikembangkan lagi oleh Markus dan Lukas. Dalam pengembangan tulisan ini ketiga penulis Injil menambahi dengan imajinasi mereka sendiri tentang pekerjaan besar yang dilakukan Yesus, yang sebenarnya tidak pernah terjadi dalam sejarah aslinya. 

            Pembahasan lebih dalam tentang Higher Criticism akan dibahas pada bagian berikutnya, yaitu pokok bahasan “Kritik Tinggi Terhadap Alkitab”. Namun sebelumnya baiklah kita membuat hipotesis tentang kritik para sarjana modernis di atas. Jika benar bahwa Musa bukan penulis Kitab Pentateuch seperti hipotesa mereka di atas, bagaimana dengan pernyataan Yesus bahwa Musa lah penulis Kitab Pentateuch (lih. Mark. 7:10; 10:3-5; 12:26; Luk. 5:14;  16:29-31; 24:27, 44; Yoh. 5:45-47; 7:19, 23), dan juga para rasul (Yoh. 1:17; Rom. 10:5; Kis. 3:22; 6:14; 1 Kor. 9:9; 2 Kor. 3:15; Ibr. 9:19; Wah. 15:3)? Jika para sarjana modernis yang benar, maka Yesuslah yang salah. Namun Yesus berkata “Akulah… kebenaran” (Yoh. 6:14) dan iman Kristen konservatif percaya bahwa Dia adalah Tuhan, Juruselamat Manusia, jadi kebenaran hanya ada di dalam Dia, dan di dalam Dia tidak ada dusta. Kalau demikian siapa si pendusta itu? Mereka yang mengambil oposisi melawan Kristus. 

            Begitu juga, jika Injil Synoptik hanya meru-pakan pengembangan karya sastra dari dongeng-dongeng rakyat yang dibumbui imajinasi penulis Injil dengan berbagai peristiwa spektakuler, maka Injil Matius, Markus dan Lukas hanya sekedar cerita dongeng dan mitos dari pribadi Yesus, manusia biasa yang pernah hidup layaknya kebanyakan manusia lain – tanpa mukjizat, tanpa peristiwa kebangkitan dsb. – dan sia-sialah kepercayaan kita dan pengorbanan para martir. 

            Lower Criticism yang disebut juga sebagai Textual Criticism adalah “studi teks Alkitab, yaitu termasuk di dalamnya pemeriksaan keaslian manuskrip atau salinan-salinan Alkitab dan versi salinan-salinan, codex-codex dan terjemahan-terjemahan yang bervariasi atau berbeda dan studi ini merupakan suatu usaha mencari yang asli atau yang sama dengan teks aslinya, yaitu teks Apographa yang diinspirasikankan langsung oleh Tuhan.”[iv] Adapun para ahli yang menggeluti bidang ini antara lain Beza, Erasmus, Bengel, Griesbach, Lachmann, Tregelles, Thischendorff, Scrivener, Westott, dan Hort.

 

SEJARAH HIGHER CRITICISM

Sejarah gerakan Higher Criticism tidak dapat dipisahkan dari tokoh-tokoh dari tiga kelompok besar, yaitu; 1). Francis-Belanda, 2). Jerman, dan 3). Inggris-Amerika. 

  1. Francis-Belanda

Dari kelompok Franco-Dutch (Francis-Belanda) pandangan yang sekarang diterima sebagai axiomatik oleh para sarjana Kontinental dan Inggris-Amerika, para teolog pertama yang memunculkan gerakan Higher Criticism adalah Carlstadt pada tahun 1521 dalam karyanya “Canon and Scripture”, Andreas Masius, seorang sarjana Belgia, yang menerbitkan buku tafsiran kitab Yosua pada tahun 1574, dan Peyrere atau Peririus, seorang Imam Katolik Roma dalam bukunya yang berjudul “Systematic Theology” pada tahun 1660.[v] 

Namun demikian pada kenyataannya Spinoza, seorang filsuf rasionalis dari Belanda yang dianggap sebagai orang pertama yang memunculkan teori Higher Criticism. Dalam bukunya yang berjudul “Tractatus Theologio-Politicus”, yang diterbitkan pada tahun 1670, Spinoza menolak penanggalan tradisional dan kepenulisan Musa atas kitab Pentateukh[vi] dan menjelaskan bahwa Pentateukh berasal dari zaman Ezra dan sebagian merupakan suntingan dari tulisan-tulisan yang lebih belakangan. Tokoh yang nama lengkapnya Baruch de Spinoza yang lahir di kota Amsterdam pada tahun 1632 ini akhirnya dikutuk dan dikucilkan dari Sinagoge. “Dia dianggap mati oleh komunitasnya, bahkan seorang Yahudi pernah berusaha menikamnya untuk menyenangkan hai Yahwe.”[vii] 

Berikut ini adalah bunyi Kutukan atas Spinoza oleh Sinagoga 27 Juli 1656: 

“Sesuai dengan keputusan para malaikat dan pernyataan para kudus, kami mengucilkan, mengutuk, melaknatkan dan menghukum Baruch d’Espinoza… Terkutuklah dia di siang hari dan malam hari, terkutuklah dia saat berbaring dan terjaga, ketika dia pergi maupun datang… Jagalah diri kalian sehingga tak seorangpun berhubungan dengannya baik secara tertulis maupun lisan, tak seorangpun menunjukkan itikad baik sedikitpun kepadanya, tak seorangpun tinggal satu atap dengannya… tak seorangpun membaca tulisan-tulisannya.”[viii] 

Spinoza diakui sebagai kepala puncak gerakan ini yang kemudian di Inggris diteruskan oleh filsuf Inggris Hobbes. Dan beberapa tahun kemudian seorang Imam dari Francis, yang bernama Richard Simon dari Dieppe, yang menjelaskan bahwa Pentateukh merupakan suntingan dari banyak penulis. Tokoh lainnya adalah seorang Belanda yang bernama Clericus (atau Le Clerk), yang pada tahun 1685 masih membela pandangan yang sangat radikal ini. Ia mengatakan bahwa Pentateuhk ditulis oleh para imam setelah pembuangan di Babel (2 Raja. 17) kira-kira tahun 678 SM dan ia juga memun-culkan teori redaktor, yaitu Pentateukh merupakan kumpulan tulisan yang kemudian diedit oleh seorang redaktur menjadi lima Kitab Musa. 

Pada tahun 1753, seorang ahli medis Francis yang bernama Astruc mengemukakan teori “Docu-mentary Hypothesis”, yaitu bahwa Pentateukh berupa bahan-bahan yang dikumpulkan dari berbagai dokumen (sumber), dan Musa sebagai redakturnya.[ix] Oleh sebab itu Astruc disebut sebagai Bapak “Documentary Hypothesis”. 

  1. Jerman

     Eichhorn adalah tokoh besar Jerman dalam gera-kan ini. Ia adalah seorang professor di Gottingen yang menerbitkan karyanya pada tahun 1780 dengan judul “Old Testament Introduction”. Ia memiliki teori yang agak berbeda dengan gerakan Documen-tary Hypothesis di Francis. Ia mengemukakan bah-wa ada dua sumber untuk Pentateukh, yaitu: 1). Sumber J – bagian-bagian yang memakai nama “JEHOVAH” untuk TUHAN, dan 2) Sumber E – bagian-bagian yang memakai nama “ELOHIM” untuk Allah. Tokoh-tokoh Jerman lainnya yang mengikuti langkah Eichhorn adalah Vater dan Hart-mann dengan teori fragmen-nya.

 Pada tahun 1806 De Wette, professor Filsafat dan Teologi di Heidelberg mengemukakan tam-bahan suatu sumber lain lagi, yaitu sumber D – yang mengarang kitab Deuteronomy (Kitab Ulangan). Tokoh lainnya adalah Professor Kuenen dari Leyden yang menulis buku “Hexateuch” diedit oleh Colenso tahun 1865 dan “Religion of Israel and Prophecy in Israel” yang diterbitkan di Inggris pada tahun  1874-1877. Dan akhirnya, namun bukan yang terakhir adalah Jullius Wellhausen, seorang professor dari Jerman yang menulis buku tentang evolusi agama Israel. 

  1. Inggris-Amerika

     Tokoh British-American yang sangat tekenal adalah Dr. Samuel Davidson yang menulis buku “Introduc-tion to the Old Testament” yang terbit tahun 1862 mengeluarkan teori hipostesis supplemen untuk Pentateukh. Tokoh lainnya adalah Dr. Robertson Smith, orang Scotlandia yang mengajar di Inggris, Dr. S.R. Driver professor bahasa Ibrani di Oxford University dan Dr. C. A. Briggs, yang untuk beberapa waktu lamanya mengajar sebagai professor Teologi Biblika di  Union Theological Seminary, New York.

 

SEJARAH LOWER CRITICISM

     Pada tahun 1516 Desiderius Erasmus menerbitkan Alkitab Perjanjian Baru bahasa Yunani yang kemudian beberapa kali diterbitkan ulang baik oleh Erasmus maupun Stephanus, Beza dan Abraham-Bonaventure Elzevir. Alkitab ini diterima dan digunakan secara umum oleh gereja di seluruh dunia. Oleh sebab itu, Alkitab ini menjadi “Textum ergo habes, nunc ab omnibus receptum…” atau teks terbitan Elzevir menjadi dikenal di seluruh daratan Eropa dengan sebutan Textus Receptus atau Received Text.[x] Pada tahun 1611, Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, King James Version atau yang juga terkenal dengan nama Authorized Version/AV 1611.

 Pada tahun 1881, dua orang sarjana liberal dari Cambridge University yang bernama Brooke Foss Westcott dan Fenton Joh Anthony Hort mengedit Alkitab Bahasa Yunani Perjanjian Baru yang didasarkan pada manuskrip minoritas, yaitu Codex Sinaiticus (!) dan Codex Vaticanus (B) yang kemudian diterbitkan oleh United Bible Society, yang dikenal dengan nama Critical Text atau UBSGNT (United Bible Societies’ Greek New Testament) yang juga diterbitkan kembali oleh Lembaga Alkitab Indonesia dengan versi Diglot Alkitab Dwibahasa Yunani-Indonesia dan NAGNT (Nestle Aland Greek New Testament) yang diterbitkan oleh Nestle dan Aland. Semua Alkitab bahasa Inggris modern atau paska KJV/AV 1611 diterjemahkan dari Alkitab ini. 

Ada perbedaan yang hakiki antara Alkitab Bahasa Yunani Textus Receptus dan Critical Text atau UBSGNT atau NAGNT, khususnya dalam penyampaian doktrinal iman Kristen. Oleh sebab itu, munculah para pembela di antara dua Alkitab ini. Di kalangan gereja dan seminari Injili Konservatif membela dan menggunakan Textus Receptus dan sementara itu di kalangan gereja dan seminari liberalisme dan bahkan Injili Baru menggunakan Critical Text. Perdebatan dua kubu ini akhirnya melahirkan semangat studi teks untuk menentukan Alkitb bahasa Yunani mana yang berotoritas atau yang dipelihara Tuhan dan superioritas. Studi teks inilah yang akhirnya disebut sebagai Lower Critic-ism atau Textual Criticism

Orang-orang yang gigih mempertahankan Textus Receptus dari Konservativisme di antaranya adalah Dean William Burgon, Edward F. Hills, D.A. Waite dan lain-lain. Sedangkan pembela Critical Text dari kalangan Katolik dan Liberalisme di antaranya ialah Carlo M. Martini (Katolik), Eugene Nida, Bruce Metzger dan Kurt Aland. 

KESIMPULAN 

Pernahkah anda mengetahui dan memahami sejarah kritik Alkitab di atas? Jika anda sudah pernah atau sekarang ini baru mengetahuinya, apakah anda merasa penting untuk mengetahui lebih jauh lagi? Sementara kita mempelajari Alkitab, Iblis dan pengikutnya juga mempelajari Alkitab dengan maksud untuk menurunkan bahkan menghancurkan otoritas Alkitab. Bayangkan saja jika kita malas untuk mempelajari Alkitab lebih dalam lagi. 

STTI PHILADELPHIA memiliki visi dan misi untuk memperlengkapi mahasiswa dan gereja Tuhan dengan pemahaman Alkitab secara men-dalam dan benar, karena kami sadar peperangan kita menghadapi penyesatan yang akan semakin berat dan memerlukan perlengkapan senjata rohani yang lebih baik lagi dengan kuasa Firman Tuhan. Kami rindu mengadakan seminar-seminar untuk umum, guna memperlengkapi semua orang Kristen dalam peperangan rohani ini. Dukungan anda akan menjadi berkat bagi pelayanan kelebaran Kerajaan Allah.



 

END NOTES

 

[i] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,  2004, hal. 110.

[ii] Ibid, hal. 109.

[iii] ‘Anonim’ artinya penulisnya tidak diketahui siapa namanya.

[iv] Torrey, R.A., A.C. Dixon and Other, editor, The Fundamentals: A Testimony of the Truth. (Grand Rapids: Michigan, Baker Book House Co., 1917, Vol. 1, hal. 9.

[v] Ibid, hal. 15.

[vi] Pentateukh adalah istilah untuk menyebut lima kitab Musa yang terdiri dari Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan.

[vii] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Hal. 45.

[viii] Dikutip F. Budi Hardiman, Ibid. hal. 46.

[ix] Dennis Green, Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama. (Malang: Gandum Mas, 1984), hal. 41.

[x] The New Testament The Greek Text Underlying the English Authorized Version of 1611. England: Trinitarian Bible Society.